BAGIAN I
Signifikansi Bentuk Film
Bentuk dipahami
sebagai sesuatu yang menjadi bentuk keteraturan, kesatuan dan identitas sebuah
subjek. Dari bentuk ini segalal sesuatu bisa menjadi
tertib dan mudah dimengerti. Begitu pula dengan film, sebagai sebuah produk
tentu saja memiliki bentuknya sendiri dan dengan bentuk ini pula film kemudian
menjadi mudah untuk dipahami oleh pembuat dan penontonnya, termasuk para
kriktikus. Pada sebuah film, yang dikategorikan sebagai bentuk adalah
penceritaannya dan sebelum bebicara jauh mengenai bentuk film, maka harus
diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar pemikiran bentuk film ini
perlu ada, dengan catatan bahwa pembahasan bentuk ini dilihat dari sudut
pandang penontonnya.
1.
Bentuk
Film sebagai system
Bila
mengenal teori sistem, maka bentuk film merupakan salah satu yang
menggunakannya sebab terdiri dari unsur–unsur yang memiliki hubungan secara
organik. Unsur–unsur itu adalah cerita, plot, ruang, waktu, karakter, hubungan
sebab–akibat dan lain sebagainya. Setiap unsur memiliki fungsinya masing–masing
dan saling bergantung antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, sehingga
kesatuan (fungsi dan saling ketergantungan) dari unsur–unsur itulah yang
disebut dengan sistem. Dengan kata lain, bila salah satu unsur itu hilang, maka
bentuk film akan terganggu ataupun tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
Kita ambil contoh, apabila menonton sebuah film yang yang tidak memiliki
cerita, pastinya kita bingung untuk bisa menyimpulkan apa yang sudah dilihat.
Contoh lain, sebuah film yang tidak memiliki karakter, maka kita sebagai
penonton akan bingung mengidentifikasi sosok yang akan kita ikuti di dalam
film. Oleh karena itu kesadaran bahwa unsur–unsur itu saling berkaitan menjadi
sangat penting bagi para pembuat film.
2.
Bentuk
Film dan isi Film
Bentuk
merupakan sesuatu yang berpola dan bersifat tetap, sedangkan isi adalah sesuatu
bisa berubah dan selalu mengikuti bentuknya. Bila diibaratkan bentuk adalah
ember, gelas ataupun botol, maka isinya bisa bermacam–macam baik air, minyak,
pasir, gula dan sebagainya. Misalnya air yang akan mengikuti bentuk embernya,
gelas atau botolnya.
Begitu
pula dengan cerita, kita bisa menggunakan cerita yang sama persis secara isi
namun bila dikemas dengan bentuk yang berbeda maka cerita tersebut akan
memiliki kesan yang berbeda pula. Bayangkan bila kita punya cerita percintaan
antara Kiara dan Dondi, biasanya urutan waktu yang digunakan adalah linear dan
progresif (maju ke depan). Tetapi bayangkan kalau ceritanya dimulai dari mereka
menjadi sepasang kekasih sampai berakhir saat awal mereka berkenalan, artinya
urutan waktunya berjalan mundur. Secara isi bisa jadi sama persis, namun secara
bentuk waktunya berjalan mundur maka kesan yang ditangkap penonton akan
berbeda.
3.
Konvensi
dan Pengalaman
Jumlah
film yang diproduksi di bumi ini tentunya sudah jutaan atau mungin sudah
milyaran. Untuk mengakses tontonan film juga – relatif – bukan hal yang sulit.
Penonton film tentunya akan terbiasa disuguhkan sesuatu baik secara bentuk
maupun isi dan karena sudah terbiasa menonton film dengan bentuk, isi ataupun
pola tertentu maka hal tersebut akhirnya melekat kuat di benak penontonnya.
Selain itu penonton juga punya pengalaman dari kehidupan sehari–hari mereka
yang terus dijalani dan tentunya sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi budaya.
Informasi yang dikenali dari menonton film dan kehidupan sehari–hari mereka
inilah yang akhirnya menjadi konvensi dan pengalaman tersebut yang akhirnya
bisa melibatkan penilaian masyarakat terhadap film yang sedang ditonton.
Contoh
kecil yang teradi dalam film Bendera karya Nan Achnas, kedua tokoh di
dalam film itu tinggal di dekat stasiun kereta api dan mereka terbiasa
melintasi rel kereta ketika menuju sekolah. Selain itu merka digambarkan juga
bukan anak ‘kuper’, sehingga saat mereka berhasil naik kereta listrik saat
mengejar bendera dan pulangnya justru tidak naik kereta listrik lagi menjadikan
adegan ini aneh. Dikarenakan umumnya anak–anak yang tinggal di dekat stasiun
kereta api sangat mengenal bagaimana harus naik kereta api tanpa membayar
terutama dengan sistem perkeretaapian di Jakarta yang sangat ruwet. Bagi
penonton yang tidak mengenal dunia kereta api mungkin permasalahan di atas
dianggap lumrah, namun bagi yang terbiasa hidup di sekitaran kereta api dan
stasiun, maka hal tersebut sangatlah janggal.
Dalam
membuat film memang kita tidak bisa mengakomodasi seluruh konvensi yang ada di
dunia ini, tetapi setidaknya seorang pembuat film harus pada tingkatan paham
akan permasalahan yang diangkat, jangan sampai unsur–unsur yang dimasukkan di
dalamnya terasa janggal, sebab bagaimanapun pendekatan realism memang
dibutuhkan agar membuat penonton percaya.
4.
Pengharapan
dalam bentuk Film
Memiliki
konvensi di kepalanya, maka penonton akan selalu mencoba menebak adegan
selanjutnya yang akan disuguhkan oleh pembuat film. Oleh karena itu sebaiknya
pembuat film selalu punya jurus pamungkasnya, sebab kalau tebakan penonton
selalu benar, maka tentu saja akan membuat kecewa.
Contohnya
dalam sebuah adegan film yang menceritakan tentang anak yang mencari ibunya di
sebuah pasar karena terpisah saat ibunya berbelanja. Biasanya penonton akan
dituntun dengan rangkaian adegan sebagai berikut :
a. Anak
mencari ibunya di lorong x.
b. Ibu
terus berjalan ke depan
c. Anak
mencari ibunya di lorong z, sampai kemudian dia melihat sesosok perempuan yang
berpakaian mirip dengan ibunya.
d. Saat
mendekati perempuan tersebut dan menggandeng tangannya, ternyata dia bukanlah
ibunya.
e. Sang
ibu tetap tidak sadar
Adegan
1, 2 dan 3 biasanya sudah bisa ditebak dan diantisipasi penonton sehingga untuk
mengecoh perhatiannya agar tebakan itu tidak selalu benar, maka pada adegan 4
penonton ‘ditipu’ dengan menghadirkan orang yang bukan ibunya.
Kalau
mau dibuat semacam rumus dan pembuat filmnya hendak mengikuti pikiran penonton,
misalkan adegan 1 dan 3 itu bisa dilambangkan dengan huruf A dan adegan 2
dilambangkan dengan huruf B, maka rangkaiannya adalah A, B, A … Bila anak
menemukan ibunya sesuai pengharapan penonton, maka adegan 4 akan masuk kumpulan
B yang menjadikan rumusnya A, B, A, B … Sedangkan pada adegan di atas, anak
justru tertipu oleh pakaian yang mirip dengan ibunya sehingga pembuat filmnya
justru mengecoh penontonnya sehingga rangkaiannya menjadi A, B, A, C …. dimana
huruf C melambangkan adegan 4 yang mengecoh tebakan penonton.
Memang
rangkaian adegan tidak selalu diarahkan begitu, sebab pembuat film sesekali
bisa saja membuat tebakan penontonnya benar, namun sekali lagi kalau tebakan
penonton selalu benar maka justru akan membuat penontonnya bosan sebab tidak
ada lagi kejutan (Surprise) yang
mereka dapatkan di dalam film tersebut.
5.
Bentuk
Film dan Rasa
Bagaimanapun,
bentuk film harus bisa dirasakan oleh penontonnya, sehingga berbicara tentang
rasa maka hal itu terdiri dari dua aspek yaitu rasa yang dialami tokoh dan rasa
yang diterima oleh penonton. Sesuatu yang dirasakan tokoh tentu saja seperti
sedih, senang, jatuh cinta dan sebagainya. Rasa ini secara umum harus bisa
dirasakan juga oleh penontonnya, namun apa yang dirasakan penonton tidak selalu
harus dirasakan oleh tokoh dalam filmnya. Misalnya penonton bisa merasa cemas
ketika tokoh hendak dipukul dari belakang, padahal pada adegan itu sang tokoh
sedang melakukan rutinitasnya (sedang tidak mengalami rasa apapun) atau contoh
lain misalnya tokoh yang sedang dikejar hantu, menemukan tempat persembunyian
yang dianggapnya aman, namun ternyata tempat itu justru sarang hantu tersebut.
6.
Bentuk
Film dan Makna
Bentuk film
juga harus memiliki ataupun mengandung makna tertentu, sehingga informasi yang
diterima oleh penonton menjadi lebih bernilai. Artinya tidak sekedar bernilai
saat berlaku di film saja. Makna dalam bentuk film dibedakan menjadi :
Makna yang
muncul dari referensi yang ada. Dalam film yang berhubungan dengan sejarah ada
beberapa hal yang menjadi catatannya, misalnya dalam film Gie karya Riri
Riza, orang kaya pada masa itu banyak yang menggunakan Holden, maka secara referential
meaning mobil tersebut adalah mobil mewah.
Makna yang
terlihat dan terdengar secara gambling dan lugas di layar, misalnya tokoh yang
memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya berarti dia sedang makan, ataupun
memasukan benda cair ke mulutnya berarti dia minum.
Makna yang
ada dibenak penonton, sebab makna yang sebenarnya adalah yang tersirat.
Misalnya ada tokoh antagonis yang memasukkan racun ke gelas minuman yang
kemudian diminum oleh tokoh protagonis. Secara eksplisit tokoh protagonis itu
sedanga minum dari sesuatu sebuah gelas, sedangkan secara implisit tokoh
protagonis itu sedang dibunuh.
Makna
terakhir ini terjadi karena kesimpulan penonton terhadap apa yang dilihat dan
didengar di layar bioskop. Kesimpilan yang sering kita dengar adalah apa yang
disebut dengan pesan moral, padahal yang dimaksud dengan symptomatic meaning
ini secara lebih luas adalah ideologi yang dibawa penonton setelah menonton
sebuah film. Misalnya dalam film Finding Nemo memiliki makna ideologis
bahwa kasih orang tua akan selalu ada bagi anaknya walaupun melewati samudera
luas.
7.
Evaluasi
Unsur terakhir dari urgensi adanya
bentuk dari sebuah film adalah adanya evaluasi yang dilakukan penonton terhadap
film yang dilihatnya. Penilaian paling sederhana oleh penonton adalah film yang
dilihatnya dianggap baik atau buruk karena beberapa pertimbangan :
Kriteria ini merupakan aspek yang
paling sering di mana penonton merasa bahwa film yang dilihatnya dianggap bagus
karena memenuhi kriteria realistik atau memenuhi kusen_pendekatan realisme yang
cenderung sempurna. Film–film yang biasanya mengandung aspek ini seperti Gie,
Stoned dan Welcome To Sarajevo yang cenderung bertipe Doku-Drama.
Namun begitu tidak selalu film dengan tipe Doku-Drama sebab bisa saja walaupun
fiksi juga bisa terlihat aspek realistiknya misalnya film American President
yang sangat detil dalam mengahdirkan seluruh aspek yang berkaitan dengan
Gedung Putih dan tempat peristirahatan Camp David.
Kriteria ini
berkaitan erat dengan symptomatic meaning pada bahasan sebelumnya, di
mana penonton merasa sebuah film yang dilihat dianggap baik atau buruk karena
nilai moralnya yang tinggi maupun rendah. Misalnya film Laskar Pelangi yang
banyak disukai karena aspek perjuangan dari anak–anak SD Muhammadiyah di
Belitung itu sangatlah mulia dan tinggi sehingga mampu memberi contoh dan dapat
mempengaruhi penontonnya. Namun aspek moral tidak selalu bernilai tinggi sebab
ada juga yang dianggap bernilai rendah seperti film Boyz N’ The Hood
karya John Singleton yang justru memicu perang genk di Amerika setelah film
tersebut diedarkan.
Terkadang
penonton merasa bahwa film yang baru ditontonnya bagus karena ceritanya yang
rumit dan tidak mudah ditebak seperti yang dilakukan Alejandro González
Iñárritu dalam filmnya seperti Amores Perros (2000), 21 Grams (2003)
dan Babel (2006), ataupun seperti film Crash (2006) yang dibuat
Paul Haggis. Kedua sutradara tersebut menggunakan kerumitan dalam bentuk
multi–plot, artinya dalam film yang dibuatnya ada beberapa plot utama. Film
jenis lain yang mengumbar kerumitan adalah misalnya Saw (2004) karya
James Wan, di mana penonton diajak masuk ke dalam teka–teki yang pada akhrinya
diberi kejutan yang sangat tidak diduga siapa dalang dari semua penyanderaan
Kriteria
terakhir adalah originalitas, film Waltz With Bashir (2008) karya Ari
Folman mengetengahkan sebuah penceritaan yang umumnya digunakan dalam
dokumenter, namun tipe film yang dipilihnya adalah animasi. Bisa juga seperti
film karya Tim Burton, seperti Corpse Bride (2005) dan Nightmare
Before Christmast (1994) yang distutradarai oleh Henry Selick, di mana yang
diceritakan justru dunia hantu yang berusaha masuk ke dunia manusia namun tidak
tahu caranya sehingga terjadi konflik di dalamnya.