Sabtu, 30 November 2013

Jenis-jenis sudut pandang kamera

Hai...
Kali ini kita akan bahas jenis-jenis sudut pandang kamera dalam pengambilan gambar.



1. Extreme Long Shot (XLS)

Sudut pandang ini digunakan untuk mengambil gambar pemandangan (landscape).

2. Long Shot (LS)
Sudut pandang ini dipakai untuk mengambil gambar aktor secara utuh dari ujung kaki sampe ujung rambut.

3. Mid Long Shot (MLS)
Sudut pandang yang ini digunakan untuk mengambil gambar aktor dari sekitar pinggang aktor sampai ke atas kepala.

4. Mid Shot (MS)
Sudut pandang kamera ini digunakan untuk mengambil gambar aktor dari sekitar dada sampai sekitar kepala.

5. Mid Close Up (MCU)
Sudut pandang ini dipakai untuk mengambil gambar aktor dari bahu ke atas.

6. Close Up (CU)
Sudut pandang ini digunakan untuk mengambil gambar bagian kepala dan wajah aktor.

7.  Big Close Up (BCU)
Sudut pandang ini dipakai untuk mengambil gambar seluruh wajah aktor (fullface).

8. Extreme Close Up (ECU)
Sudut pandang ini mengambil gambar  ekspresi dan kontur wajah aktor.

9. Low Angle Shots
Sudut pandang ini mengambil gambar aktor dari bawah untuk membuat aktor terlihat gagah dan powerful.

10. Eye Level Shot
sudut pandang ini digunakan untuk mengambil gambar ketika aktor berdialog atau menunjukkan emosinya.

11. High Level Shot
Sudut pandang ini mengambil gambar dari atas untuk membuat aktor terlihat lebih kecil.

12. Worm's Eye View
Adalah versi ekstrim dari Low Angle Shot.

13. Canted Shots
Sudut pandang ini digunakan ketika aktor berada dalam situasi yang membingungkan.

14. Bird's Eye View
Adalah versi ekstrim dari High Level shot.

Membuat film kita lebih OK!.

Berikut ini adalah beberapa hal penting yang harus kita perhatikan dalam membuat film pendek. Dengan mengikuti langkah-langkah yang akan diuraikan ini, maka kita dapat mengurangi beberapa hal yang tidak seharusnya kita lakukan. Meskipun begitu, ini merupakan saran-saran saja, dan dapat dikembangkan berdasarkan keahlian dan pengalaman. Take a look..

1. Apakah film Anda layak ditonton

Sebelum semuanya dimulai, maka selayaknya kita bertanya: apakah semua orang pasti menonton film yang akan kita buat ?. Jawabnya, No!. Artinya tidak semua orang pasti akan menonton film kita. Sebelum menulis skenarionya, mari tanyakan kepada diri sendiri terlebih dahulu; mengapa orang harus menonton film yang akan kita buat.


2. Jangan mulai produksi tanpa adanya budget
 

Film, meskipun sederhana sangat membutuhkan biaya!. Besar biaya memang tidak terbatas, bisa besar bisa kecil. Dengan membuat prakiraan biaya (budget), maka kita akan lebih tahu apa yang harus kita lakukan dengan uang yang dimiliki. Produksi tanpa budget menyebabkan rencana-rencana tidak bisa diprediksi. Apalagi jika uang yang tersedia tidak mencukupi, bisa-bisa film yang sedang dikerjakan tidak selesai-selesai.

3. Minta persetujuan pihak-pihak yang terlibat 
 

Sebelum shooting dilakukan, ada baiknya meminta persetujuan tertulis dari pihak-pihak yang terlibat didalam film, seperti aktor/aktris, music director, artwork, sponsor, atau siapa saja yang ingin berkontribusi. Bereskan dulu semua ini!. Karena kalau memintanya saat shooting dimulai, maka kemangkiran-kemangkiran dari pihak-pihak tersebut akan terasa sulit dimintakan pertanggung jawabannya. Maka, do it Now!




 

4. Buatlah film pendek memang pendek! 
 

Penulis naskah dan/atau sutradara harus bisa memenuhi standar yang menyatakan bahwa sebuah film adalah film pendek. Bertele-tele dalam penyajiannya akan membuat penonton bosan. Jika itu film pendek..maka harus pendek. Meskipun sulit, tapi memang harus begitu. Standar film pendek adalah maksimal berdurasi 30 menit!.

5. Jika memakai aktor yang tidak professional, maka lakukan casting  
Tidak lepas kemungkinan film pendek dibintangi oleh aktor/aktris yang tidak professional (amatir). Ini sih wajar-wajar saja. Apalagi mereka (mungkin) tidak dibayar. Tapi untuk memilih karakter-karakter pemain yang sesuai, wajib melakukan pemilihan peran (casting). Jangan memilih orang sembarangan apalagi casting baru akan lakukan beberapa saat menjelang shooting. Berbahaya!.

6. Tata suara sebaik-baiknya
 

Tata suara yang buruk pada kebanyakan film pendek (meskipun memiliki konsep cerita menarik) menyebabkan tidak nyaman ditonton. Gunakan perangkat pendukung tata suara sepertiboom mike untuk mendapatkan hasil yang baik. Kalau gak punya, beli atau pinjam aja�

7. Yakin OK saat shooting, jangan mengandalkan post-production
 

Saat ini semua film kebanyakan dikerjakan dengan kamera digital. Maka tidak sulit untuk memeriksa apakah semua hasil shooting sudah memenuhi sarat atau belum dengan melakukanplayback. Periksa semua! frame dialog, tata suara, pencahayaan atau apa saja. Apakah sudah sesuai dengan kualitas yang diinginkan ?. Sangat penting; periksa setelah shooting, bukan pada saat paska produksi.

8. Hindari pemakaian zoom saat shooting
 

Kameraman yang baik adalah yang bisa mengurangi zooming. Kecuali bisa dilakukan dengan sebaik mungkin. Mendapatkan gambar lebih dekat ke objek sangat baik menggunakan dolly,camera glider, atau lakukan cut and shoot!. 

9. Hindari pemakaian efek yang tidak perlu
 

Sebuah film pendek banyak mengandalkan efek-efek seperti; memulai film dengan alarm hitungan mundur (ringing alarm clock), transisi yang berlebihan seperti dissolves/wipe, dan credit titles yang panjang. Pikirkan dengan baik, apakah hal-hal ini perlu ditampilkan atau tidak. Pilihan yang sangat bijak jika semua itu tidak terlalu berlebihan.

10. Hindari shooting malam di luar ruang
 

Suasana gelap adalah musuh utama kamera (camcorder). Pengambilan gambar diluar ruang pada malam hari sangat membutuhkan cahaya. Apabila tidak menggunakan lighting yang cukup maka hasilnya akan jelek sekali. Meskipun dapat melakukan color correction pada saat editing, tapi sudah pasti dapat menyebabkan noise dan kualitas gambar menjadi drop. Paling baik adalah merubah skenario menjadi suasana siang hari. Tidak akan mengganggu cerita toh?.

Minggu, 13 Oktober 2013

TEORI DASAR PRODUKSI FILM FIKSI DOKUMENTER : BENTUK FILM

BAGIAN II

PRINSIP - PRINSIP BENTUK FILM 

1. Fungsi Bentuk

Bentuk berfungsi sebagai ‘anatomi’ dari cerita film mudah dipahami oleh penontonnya. Dikarenakan yang hendak disampaikan kepada penontonnya adalah pesan atau informasi, maka fungsi lain dari bentuk adalah sebagai tempat bergulirnya cerita, artinya dengan adanya bentuk maka cerita dapat berjalan dan diharapkan pesan sampai di benak penontonnya.
  
2. Kemiripan / Pengulangan Dan Perbedaan / Variasi

Permasalahannya, informasi atau pesan yang disampaikan kepada penonton sangat banyak, sehingga penonton akan mudah lupa pesan apa saja yang sudah disampaikan dan apa tujuan tokoh dalam cerita film. Supaya penonton selalu ingat dengan selalu tujuan tokoh, maka pesan yang disampaikan haruslah selalu diulang, namun tentu saja ada caranya yaitu dengan menggunakan metode duplikasi dan bukan repetisi. Metode repetisi adalah pengulangan atau informasi adegan dalam sebuah film yang cara penyajiannya dibuat sama persis. Sedangkan metode duplikasi adalah pengulangan adegan atau informasi dalam sebuah film yang cara penyajiannya dibuat berbeda atau bisa juga menggunakan repetisi namun kandungan dramatiknya ditingkatkan. Untuk lebih jelasnya ada contoh sederhana, yaitu bila dalam sebuah film ada tokoh yang ingin ditunjukkan kebaikkannya sehingga penonton bisa bersimpati, maka pembuat filmnya harus memperlihatkan beberapa adegan yang dapat menguatkan karakter tokoh tersebut, misalnya pada adegan 1 dia menolong orang tua, pada adegan 3 dia tidak marah ketika ada seorang yang menghinanya, pada adegan ke 7 dia ikut memberikan sedekah kepada anak jalanan dan seterusnya. Adegan–adegan di atas merupakan metode duplikasi di mana inti dari penyajiannya adalah menunjukkan kebaikan hati tokohnya. Tetapi mengapa metode duplikasi lebih disarankan dibanding repetisi, sebab selain penonton bisa melihat perbedaan dari tiap adegan juga untuk memberikan variasi adegan agar penonton tidak merasa jenuh. Penonton bisa jadi merasa dibodohi bila apa yang sudah disampaikan sebelumnya, diperlihatkan lagi pada adegan–adegan selanjutnya.

3. Pengembangan Cerita

Pengembangan cerita wajib dilakukan oleh pembuat film, gunanya agar penonton tidak merasa alurnya berputar disitu-situ saja yang bisa membuat mereka meninggalkan bioskop. Terutama pada bagian eksposisi di mana permasalahan sang tokoh dipaparkan sehingga penontonnya bisa mengetahui lebih detil apa saja yang membuat tujuannya berubah.
 
4. Kesatuan / Ketidaksatuan
 
Sekali lagi bahwa bentuk film (cerita) adalah sebuah sistem, sehingga harus diingatkan lagi bahwa bentuk film tampak sebagai kesatuan yang utuh sehingga hubungan antar unsurnya jelas. Dikarenakan ketidaksatuan menyebabkan penonton akan kecewa ataupun bingung dengan penceritaannya. Misalnya, film Pink Floyd : The Wall (1981) karya Alan Parker, di mana untuk bisa memahami ceritanya harus membaca lirik lagu dari album The Wall (1979) karya band Pink Floyd, sehingga penonton yang tidak membaca lirik lagu sebelumnya maka akan sangat bingung dengan cerita film tersebut, sebab alurnya maju–mundur tanpa panduan yang jelas.

Sabtu, 12 Oktober 2013

TEORI DASAR PRODUKSI FILM FIKSI DOKUMENTER : BENTUK FILM

BAGIAN I

Signifikansi Bentuk Film

Bentuk dipahami sebagai sesuatu yang menjadi bentuk keteraturan, kesatuan dan identitas sebuah subjek. Dari bentuk ini segalal sesuatu bisa menjadi tertib dan mudah dimengerti. Begitu pula dengan film, sebagai sebuah produk tentu saja memiliki bentuknya sendiri dan dengan bentuk ini pula film kemudian menjadi mudah untuk dipahami oleh pembuat dan penontonnya, termasuk para kriktikus. Pada sebuah film, yang dikategorikan sebagai bentuk adalah penceritaannya dan sebelum bebicara jauh mengenai bentuk film, maka harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar pemikiran bentuk film ini perlu ada, dengan catatan bahwa pembahasan bentuk ini dilihat dari sudut pandang penontonnya.

1.    Bentuk Film sebagai system

Bila mengenal teori sistem, maka bentuk film merupakan salah satu yang menggunakannya sebab terdiri dari unsur–unsur yang memiliki hubungan secara organik. Unsur–unsur itu adalah cerita, plot, ruang, waktu, karakter, hubungan sebab–akibat dan lain sebagainya. Setiap unsur memiliki fungsinya masing–masing dan saling bergantung antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, sehingga kesatuan (fungsi dan saling ketergantungan) dari unsur–unsur itulah yang disebut dengan sistem. Dengan kata lain, bila salah satu unsur itu hilang, maka bentuk film akan terganggu ataupun tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Kita ambil contoh, apabila menonton sebuah film yang yang tidak memiliki cerita, pastinya kita bingung untuk bisa menyimpulkan apa yang sudah dilihat. Contoh lain, sebuah film yang tidak memiliki karakter, maka kita sebagai penonton akan bingung mengidentifikasi sosok yang akan kita ikuti di dalam film. Oleh karena itu kesadaran bahwa unsur–unsur itu saling berkaitan menjadi sangat penting bagi para pembuat film.

2.    Bentuk Film dan isi Film

Bentuk merupakan sesuatu yang berpola dan bersifat tetap, sedangkan isi adalah sesuatu bisa berubah dan selalu mengikuti bentuknya. Bila diibaratkan bentuk adalah ember, gelas ataupun botol, maka isinya bisa bermacam–macam baik air, minyak, pasir, gula dan sebagainya. Misalnya air yang akan mengikuti bentuk embernya, gelas atau botolnya.

Begitu pula dengan cerita, kita bisa menggunakan cerita yang sama persis secara isi namun bila dikemas dengan bentuk yang berbeda maka cerita tersebut akan memiliki kesan yang berbeda pula. Bayangkan bila kita punya cerita percintaan antara Kiara dan Dondi, biasanya urutan waktu yang digunakan adalah linear dan progresif (maju ke depan). Tetapi bayangkan kalau ceritanya dimulai dari mereka menjadi sepasang kekasih sampai berakhir saat awal mereka berkenalan, artinya urutan waktunya berjalan mundur. Secara isi bisa jadi sama persis, namun secara bentuk waktunya berjalan mundur maka kesan yang ditangkap penonton akan berbeda.

3.    Konvensi dan Pengalaman

Jumlah film yang diproduksi di bumi ini tentunya sudah jutaan atau mungin sudah milyaran. Untuk mengakses tontonan film juga – relatif – bukan hal yang sulit. Penonton film tentunya akan terbiasa disuguhkan sesuatu baik secara bentuk maupun isi dan karena sudah terbiasa menonton film dengan bentuk, isi ataupun pola tertentu maka hal tersebut akhirnya melekat kuat di benak penontonnya. Selain itu penonton juga punya pengalaman dari kehidupan sehari–hari mereka yang terus dijalani dan tentunya sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi budaya. Informasi yang dikenali dari menonton film dan kehidupan sehari–hari mereka inilah yang akhirnya menjadi konvensi dan pengalaman tersebut yang akhirnya bisa melibatkan penilaian masyarakat terhadap film yang sedang ditonton.

Contoh kecil yang teradi dalam film Bendera karya Nan Achnas, kedua tokoh di dalam film itu tinggal di dekat stasiun kereta api dan mereka terbiasa melintasi rel kereta ketika menuju sekolah. Selain itu merka digambarkan juga bukan anak ‘kuper’, sehingga saat mereka berhasil naik kereta listrik saat mengejar bendera dan pulangnya justru tidak naik kereta listrik lagi menjadikan adegan ini aneh. Dikarenakan umumnya anak–anak yang tinggal di dekat stasiun kereta api sangat mengenal bagaimana harus naik kereta api tanpa membayar terutama dengan sistem perkeretaapian di Jakarta yang sangat ruwet. Bagi penonton yang tidak mengenal dunia kereta api mungkin permasalahan di atas dianggap lumrah, namun bagi yang terbiasa hidup di sekitaran kereta api dan stasiun, maka hal tersebut sangatlah janggal.

Dalam membuat film memang kita tidak bisa mengakomodasi seluruh konvensi yang ada di dunia ini, tetapi setidaknya seorang pembuat film harus pada tingkatan paham akan permasalahan yang diangkat, jangan sampai unsur–unsur yang dimasukkan di dalamnya terasa janggal, sebab bagaimanapun pendekatan realism memang dibutuhkan agar membuat penonton percaya.

4.    Pengharapan dalam bentuk Film

Memiliki konvensi di kepalanya, maka penonton akan selalu mencoba menebak adegan selanjutnya yang akan disuguhkan oleh pembuat film. Oleh karena itu sebaiknya pembuat film selalu punya jurus pamungkasnya, sebab kalau tebakan penonton selalu benar, maka tentu saja akan membuat kecewa.

Contohnya dalam sebuah adegan film yang menceritakan tentang anak yang mencari ibunya di sebuah pasar karena terpisah saat ibunya berbelanja. Biasanya penonton akan dituntun dengan rangkaian adegan sebagai berikut :

a.    Anak mencari ibunya di lorong x.
b.    Ibu terus berjalan ke depan
c.    Anak mencari ibunya di lorong z, sampai kemudian dia melihat sesosok perempuan yang berpakaian mirip dengan ibunya.
d.    Saat mendekati perempuan tersebut dan menggandeng tangannya, ternyata dia bukanlah ibunya.
e.    Sang ibu tetap tidak sadar

Adegan 1, 2 dan 3 biasanya sudah bisa ditebak dan diantisipasi penonton sehingga untuk mengecoh perhatiannya agar tebakan itu tidak selalu benar, maka pada adegan 4 penonton ‘ditipu’ dengan menghadirkan orang yang bukan ibunya.

Kalau mau dibuat semacam rumus dan pembuat filmnya hendak mengikuti pikiran penonton, misalkan adegan 1 dan 3 itu bisa dilambangkan dengan huruf A dan adegan 2 dilambangkan dengan huruf B, maka rangkaiannya adalah A, B, A … Bila anak menemukan ibunya sesuai pengharapan penonton, maka adegan 4 akan masuk kumpulan B yang menjadikan rumusnya A, B, A, B … Sedangkan pada adegan di atas, anak justru tertipu oleh pakaian yang mirip dengan ibunya sehingga pembuat filmnya justru mengecoh penontonnya sehingga rangkaiannya menjadi A, B, A, C …. dimana huruf C melambangkan adegan 4 yang mengecoh tebakan penonton.

Memang rangkaian adegan tidak selalu diarahkan begitu, sebab pembuat film sesekali bisa saja membuat tebakan penontonnya benar, namun sekali lagi kalau tebakan penonton selalu benar maka justru akan membuat penontonnya bosan sebab tidak ada lagi kejutan (Surprise) yang mereka dapatkan di dalam film tersebut.

5.    Bentuk Film dan Rasa

Bagaimanapun, bentuk film harus bisa dirasakan oleh penontonnya, sehingga berbicara tentang rasa maka hal itu terdiri dari dua aspek yaitu rasa yang dialami tokoh dan rasa yang diterima oleh penonton. Sesuatu yang dirasakan tokoh tentu saja seperti sedih, senang, jatuh cinta dan sebagainya. Rasa ini secara umum harus bisa dirasakan juga oleh penontonnya, namun apa yang dirasakan penonton tidak selalu harus dirasakan oleh tokoh dalam filmnya. Misalnya penonton bisa merasa cemas ketika tokoh hendak dipukul dari belakang, padahal pada adegan itu sang tokoh sedang melakukan rutinitasnya (sedang tidak mengalami rasa apapun) atau contoh lain misalnya tokoh yang sedang dikejar hantu, menemukan tempat persembunyian yang dianggapnya aman, namun ternyata tempat itu justru sarang hantu tersebut.

6.    Bentuk Film dan Makna

Bentuk film juga harus memiliki ataupun mengandung makna tertentu, sehingga informasi yang diterima oleh penonton menjadi lebih bernilai. Artinya tidak sekedar bernilai saat berlaku di film saja. Makna dalam bentuk film dibedakan menjadi :


  • Referential Meaning  
         Makna yang muncul dari referensi yang ada. Dalam film yang berhubungan dengan sejarah ada beberapa hal yang menjadi catatannya, misalnya dalam film Gie karya Riri Riza, orang kaya pada masa itu banyak yang menggunakan Holden, maka secara referential meaning mobil tersebut adalah mobil mewah. 
  • Explicit Meaning  
         Makna yang terlihat dan terdengar secara gambling dan lugas di layar, misalnya tokoh yang memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya berarti dia sedang makan, ataupun memasukan benda cair ke mulutnya berarti dia minum.

  •  Implicit Meaning 
         Makna yang ada dibenak penonton, sebab makna yang sebenarnya adalah yang tersirat. Misalnya ada tokoh antagonis yang memasukkan racun ke gelas minuman yang kemudian diminum oleh tokoh protagonis. Secara eksplisit tokoh protagonis itu sedanga minum dari sesuatu sebuah gelas, sedangkan secara implisit tokoh protagonis itu sedang dibunuh.

  •  Symptomatic Meaning 
          Makna terakhir ini terjadi karena kesimpulan penonton terhadap apa yang dilihat dan didengar di layar bioskop. Kesimpilan yang sering kita dengar adalah apa yang disebut dengan pesan moral, padahal yang dimaksud dengan symptomatic meaning ini secara lebih luas adalah ideologi yang dibawa penonton setelah menonton sebuah film. Misalnya dalam film Finding Nemo memiliki makna ideologis bahwa kasih orang tua akan selalu ada bagi anaknya walaupun melewati samudera luas.

7.    Evaluasi

Unsur terakhir dari urgensi adanya bentuk dari sebuah film adalah adanya evaluasi yang dilakukan penonton terhadap film yang dilihatnya. Penilaian paling sederhana oleh penonton adalah film yang dilihatnya dianggap baik atau buruk karena beberapa pertimbangan :
  • Kriteria Realistik
         Kriteria ini merupakan aspek yang paling sering di mana penonton merasa bahwa film yang dilihatnya dianggap bagus karena memenuhi kriteria realistik atau memenuhi kusen_pendekatan realisme yang cenderung sempurna. Film–film yang biasanya mengandung aspek ini seperti Gie, Stoned dan Welcome To Sarajevo yang cenderung bertipe Doku-Drama. Namun begitu tidak selalu film dengan tipe Doku-Drama sebab bisa saja walaupun fiksi juga bisa terlihat aspek realistiknya misalnya film American President yang sangat detil dalam mengahdirkan seluruh aspek yang berkaitan dengan Gedung Putih dan tempat peristirahatan Camp David. 

  • Kriteria Moral
         Kriteria ini berkaitan erat dengan symptomatic meaning pada bahasan sebelumnya, di mana penonton merasa sebuah film yang dilihat dianggap baik atau buruk karena nilai moralnya yang tinggi maupun rendah. Misalnya film Laskar Pelangi yang banyak disukai karena aspek perjuangan dari anak–anak SD Muhammadiyah di Belitung itu sangatlah mulia dan tinggi sehingga mampu memberi contoh dan dapat mempengaruhi penontonnya. Namun aspek moral tidak selalu bernilai tinggi sebab ada juga yang dianggap bernilai rendah seperti film Boyz N’ The Hood karya John Singleton yang justru memicu perang genk di Amerika setelah film tersebut diedarkan. 

  • Kriteria Kompleksitas
        Terkadang penonton merasa bahwa film yang baru ditontonnya bagus karena ceritanya yang rumit dan tidak mudah ditebak seperti yang dilakukan Alejandro González Iñárritu dalam filmnya seperti Amores Perros (2000), 21 Grams (2003) dan Babel (2006), ataupun seperti film Crash (2006) yang dibuat Paul Haggis. Kedua sutradara tersebut menggunakan kerumitan dalam bentuk multi–plot, artinya dalam film yang dibuatnya ada beberapa plot utama. Film jenis lain yang mengumbar kerumitan adalah misalnya Saw (2004) karya James Wan, di mana penonton diajak masuk ke dalam teka–teki yang pada akhrinya diberi kejutan yang sangat tidak diduga siapa dalang dari semua penyanderaan 

  • Kriteria Originalitas
        Kriteria terakhir adalah originalitas, film Waltz With Bashir (2008) karya Ari Folman mengetengahkan sebuah penceritaan yang umumnya digunakan dalam dokumenter, namun tipe film yang dipilihnya adalah animasi. Bisa juga seperti film karya Tim Burton, seperti Corpse Bride (2005) dan Nightmare Before Christmast (1994) yang distutradarai oleh Henry Selick, di mana yang diceritakan justru dunia hantu yang berusaha masuk ke dunia manusia namun tidak tahu caranya sehingga terjadi konflik di dalamnya.
 

Selasa, 08 Oktober 2013

KETEMU JUGA DENGAN SUTRADARA YANG MENJADI ANDALAN SAYA

setelah menghadiri SEASCREEN MAKASSAR akhirnya bertemu juga dengan sutradara yang menjadi andalan saya, rasanya ingin punya film sehebat mereka...

1. RIRI RIZA

sutradara :KULDESAK (1998), PETUALANGAN SHERINA (2000), ELIANA,ELIANA (2002), GIE (2005), UNTUK RENA (2005), 3 HARI UNTUK SELAMANYA (2007), LASKAR PELANGI (2008), TAKUT (2008), DRUPADI (2008), SANG PEMIMPI (2009), PUNYA CINDERELLA (2011), "ATAMBUA 39° CELCIUS (2012).






2. UPI AVIANTO

sutradara : 30 HARI MENCARI CINTA (2004), REALITA, CINTA DAN ROCK'N ROLL (2006), PEREMPUAN PUNYA CERITA (2007), RADIT DAN JANI (2008), SERIGALA TERAKHIR (2009), RED COBEX (2010), BELENGGU (2013).




3. KAMILA ANDINI

sutradara : RAHASIA DI BALIK CITA RASA (2002), THE MIRROR NEVER LIES (2011).

 

Minggu, 15 September 2013

FILM PENDEK : Buatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMI Makassar

Di bawah ini adalah beberapa film karya Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMI Makassar dan saya akan memberikan kronologis dari film-film tersebut.

1. LUKA TANPA DOSA


inilah film pertama karya mahasiswa Ilmu Komunikasi UMI, dimana dalam film ini menceritakan tentang pertemuan dua sejoli dalam satu universitas yang pada akhirnya menjalin suatu hubungan ( Pacaran ). Namun hubungan merekapun tak berjalan dengan baik sehingga mereka harus memutuskan hubungannya.

demikian kronologis singkat mengenai film tersebut. kalau kawan-kawan penasaran dan ingin menonton film ini, anda dapat menghubungi langsung sang sutradara nya. nih saya berikan nama facebook si sutradara nya itu..

klik disini ------> Al Amin


2. TERJEBAK MAYA


untuk kronologis nya, saya copy kata-katanya langsung dari kasetnya.

KRONOLOGI

Manto seorang mahasiswa semester V yang berjiwa sosial tinggi dan peka terhadap lingkungan sekitarnya, namun tingkah lakunya berubah 180 derajat ketika mengenal teknologi yang menghubungkannya lebih dekat kepada orang-orang yang baru dikenalnya. tetapi wahyu seorang sahabat mengingatkannya akan apa yang telah terjadi dalam diri manto.

demikian kronologis yang ada dalam film ini. untuk yang ingin menontonnya, saya sertakan nama facebook dan twitter sang sutradaranya.

Facebook klik di sini------> Akbar Gazali

Twitter klik di sini---------> Akbar Gazali


3. DIA ada


untuk yang satu ini, film nya..yah..boleh di bilang agak frontal. kenapa saya bilang frontal ? soalnya dalam film ini menceritakan tentang seorang pemuda dimana ia tidak percaya akan tuhan, dan menganggap semua yang ada di sekitarnya dapat dia ketahui dan di rasionalkan. namun tuhan berkata lain. sehingga tuhan memberikan bukti keberadaannya melalui cobaan-cobaan yang dialami nya.

bagi kawan-kawan yang penasaran dan ingin menontonnya, bisa hubungi sang produsernya di facebooknya

Facebook klik di sini--------> Zakiah Djumrah


demikian beberapa kronologis film karya Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMI Makassar


Sabtu, 14 September 2013

DASAR-DASAR JURNALISTIK TV



TIM LIPUTAN BERITA

            Keberhasilan redaksi pemberitaan berita sebuah stasiun televisi banyak bergantung kepada tim liputan beritanya. Sebab stasiun televisi tidak hanya menunggu berita yang datang tetapi harus mengejar berita, dan karenanya dibutuhkan seorang reporter. Tetapi selain berita stasiun televisi membutuhkan gambar, dan untuk itu diperlukan seorang juru kamera (camera person). Sebab keunggulan televisi dibandingkan media massa lainnya adalah bahwa khalayak bisa melihat peristiwa yang terjadi, karena berita yang dibacakan didampingi adanya gambar. Bagi televisi gambar adalah segalanya, dan tidak ada yang lebih buruk bagi seorang reporter televisi jika ia datang ke kantor tanpa membawa gambar yang bisa menunjang berita yang akan ditulisnya. Terlebih bila stasiun televisi lain justru memiliki gambar tersebut.
            Kredibilitas stasiun televisi akan turun drastis bahkan hanya dalam satu malam, bila tim liputannya gagal mendapatkan gambar dari suatu peristiwa penting. Terlebih bila kegagalan itu terjadi karena pada saat itu tidak ada juru kamera yang siap. Koordinasi antara reporter dan juru kamera terkadang menjadi masalah dalam suatu liputan. Misalnya si reporter sudah siap berangkat namun juru kamera belum ada, atau sebaliknya.
             Keberhasilan bagian pemberitaan stasiun televisi banyak bergantung kepada reporter dan juru kamera yang ada di lapangan serta korlip di ruang redaksi yang mengarahkan mereka. Namun kemampuan produser dan eksekutif produser dalam menyusun acara juga tak kalah penting. Struktur organisasi bagian pemberitaan televisi biasanya terdiri dari sejumlash jabatan, seperti direktur pemberitaan (news director), eksekutif produser, produser, koordinator liputan (korlip), reporter, juru kamera, driver, dan lain lain.
            Namun efektifitas peliputan berita redaksi pemberitaan sebuah stasiun televisi sebagian besar bergantung kepada mereka yang bekerja di lapangan –tim liputan—yang terdiri dari para reporter dan juru kamera. Ujung tombak dari suatu program berita stasiun televisi adalah tim liputan berita. Kerjasama yang baik antara reporter dan juru kamera dalam sebuah tim liputan akan menentukan kualitas berita yang dihasilkan atau disampaikan kepada khalayak. Reporter dan juru kamera harus bekerja sama sebagai satu tim kerja.

Tugas dan Tanggung Jawab Reporter
            Redaksi pemberitaan stasiun televisi membutuhkan wartawan atau reporter televisi untuk program beritanya. Profesi sebagai reporter atau wartawan televisi tidak diperuntukkan bagi orang-orang yang berjiwa lemah. Sebab profesi ini membutuhkan stamina yang baik dan motivasi kerja yang tinggi. Seorang reporter televisi harus memiliki kegigihan dalam mengejar berita, cepat dan sigap dalam bekerja, mau bekerja keras, bersedia tetap bekerja dan masuk kantor pada hari libur, dan siap berangkat setiap saat dan kapanpun dibutuhkan ke lokasi liputan. Jadi profesi ini tidak cocok bagi orang-orang yang bermental pegawai kantoran dengan jadwal kerja teratur; masuk kantor pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 sore.
            Seorang wartawan/reporter televisibekerja secara cepat dalamhal mengumpulkan informasi, menentukan lead sekaligus angle berita, kemudian menulis berita dan melaporkannya baik secara langsung (live) ataupun direkam dalam bentuk paket berita yang akan disiarkan kemudian. Perkembangan teknologi yang cepat dalam pengiriman gambar dan suara (electronic news-gathering techniques) mengharuskan wartawan televisi untuk bekerja lebih cepat pula. Ia harus segera berangkat ke lokasi liputan, mengumpulkan informasi di lapangan, menentukan angle dan lead berita, kemudian melaporkannya baik secara langsung di depan kamera, maupun kepada redaksi pemberitaan untuk kemudian bisa dibuat menjadi sebuah paket berita televisi. Dalam hal ini seorang reporter yang memiliki ingatan yang kuat  dan bisa langsung tampil secara live dengan berbicara secara lancar dan teratur di depan kamera meski tanpa persiapan yang cukup, mendapat kredit poin tersendiri.
            Seorang reporter (selanjutnya kita sebut wartawan) televisi terkadang harus meliput berita-berita kriminal atau bencana dan harus mengunjungi lokasi musibah atau tempat terjadinya tindak kejahatan. Lokasi berita kriminal seperti ini terkadang dipenuhi mayat yang hancur atau berserakan dengan ceceran darah ada di mana-mana. Dalam hal ini reporter televisi harus memiliki emosi dan kondisi psikis yang stabil agar ia bisa menghadapi kondisi lapangan yang seperti itu untuk kemudianmelaporkannya. Seorang reporter televisi tidak boleh bersikap emosional dan mudah terbawa perasaan karena menyaksikan situasi di mana ia berada saat itu. Seorang reporter televisi dituntut untuk tetap objektif dan berpikir jernih apapun situasi yang tengah dihadapinya.
            Wartawan televisi terkadang ditempatkan di suatu pos tertentu untuk liputannya. Misalnya di kantor polisi, pemda setempat, pengadilan, dll. Wartawan ada pula yang ditugaskan untuk khusu meliput berita-berita yang terkait dengan bidang kesehatan, ekonomi, olahraga, ilmu pengetahuan dan teknologi, dll. Semuanya merupakan liputan dari peristiwa yang langsung jadi (on-the-spot news coverage). Namun beberapa wartawan ada yang ditugaskan melakukan investigative reporting yang biasanya membutuhkan waktu beberapa hari atau minggu untuk mengumpulkan indormasi tergantung dari topik yang dibahas. Tugas penyelidikan semacam ini terkadang dapat menimbulkan bahaya.    
            Stasiun televisi juga terkadang mengirimkan wartawannya untuk meliput kawasan yang bergolak, misalnya perang atau kerusuhan sosial. Wartawan terkadang harus menghadapi bahaya ketika melakukan laporan langsung di wilayah yang tidak aman. Dalam hal ini wartawan harus belajar bagaimana untuk bermanuver melewati berbagai situasi yang sulit untuk menemukan informasi yang berharga.
            Wartawan televisi seperti juga wartawan radio adalah wartawan penyiaran (broadcast reporter). Mark W. Hall dalam bukunya Broadcast Journalism menyebutkan bahwa wartawan penyiaran adalah: “... a newsperson who works for a radio or television”. Jadi wartawan penyiaran adalah seseorang yang bekerja untuk stasiun radio atau televisi, termasuk para reporter televisi, yang membuat suatu karya jurnalistik yang akan disiarkan melalui media radio atau televisi. Sebagai wartawan penyiaran khususnya televisi, ia harus membekali dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan yang luas melalui latihan-latihan peliputan yang intensif (mendalam) dan juga mengetahui benar (paham) mengenai sifat- sifat media penyiaran dalam hal ini televisi.
            Selain harus kreatif, dalam arti mengetahui benar peristiwa-peristiwa yang memiliki nilai jurnalistik, seorang reporter televisi harus memahami ilmu jurnalistik. Wartawan televisi yang baik adalah seseorang yang juga mampu menjadi penyaji berita yang baik. Dalam hal ini ia tidak saja dituntut untuk dapat menulis berita dengan baik dan benar, tapi ia juga dapat menyampaikan berita dengan ucapan kata-kata yang baik di depan kamera, lengkap dengan mimik dan ekspresi yang menunjang (memiliki body languange). Dalam hal ini seorang reporter televisi dituntut juga untuk dapat menjadi seorang penyiar (news caster).
            Meski seorang reporter dan juru kamera harus bisa bekerja sama sebagai satu tim kerja, namun pada akhirnya reporterlah yang bertanggung jawab atas hasil liputan yang dilakukan; sebauh paket berita akhir. Oleh karena itu reporter harus mengarahkan juru kamera agar mendapatkan semua gambar (shots dan sequences) yang dibutuhkan untuk mengilustrasikan berita yang akan disajikan. Pada sebagian besar peliputan berita, reporter adalah juga seorang produser dan sutradara yang memiliki tugas ganda, yaitu :
  1. Memastikan bahwa juru kamera mendapatkan semua news shot (gambar berita) yang ia butuhkan untuk penyampaian laporan berita.
  2. Mengumpulkan informasi faktual selengkap-lengkapnya sebagai bahan untuk menulis berita (voice over).
Seiring dengan kemajuan teknologi belakangan ini, beberapa stasiun televisi telah menjajaki jurnalisme foto –di mana reporter merekam gambarnya sendiri—artinya seorang reporter juga mampu mengoperasikan kamera dan melakukan pengambilan gambar secara baik dan benar. Stasiun televisi di negara maju bahkan telah menerapkan konsep “video journalist” (VJ), dimana reporter juga bertindak sebagai juru kamera yang mampu merekam gambarnya sendiri, bahkan mengedit sendiri materi beritanya hingga siap tayang. Dengan demikian reporter bertindak sebagai juru kamera dan editor.
Terlepas dari apakah stasiun televisi tempat anda bekerja nantinya telah menerapkan pendekatan itu atau belum, seorang reporter harus tetap bisa memahami tugas  juru kamera, demikian pula sebaliknya. Keduanya harus saling memahami tugas dan tanggungjawab masing-masing saat bekerja. Seorang reporter harus memahami kemampuan dan keterbatasan kamera agar ia bisa bekerja secara efektif. Komunikasi adalah kunci efektivitas ketika melakukan shooting di lokasi.

Tugas dan Tanggung Jawab Juru Kamera
Juru kamera (camera person) bertanggung jawab atas semua aspek teknis pengambilan dan perekaman gambar. Seorang juru kamera harus memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang dilakukannya ketika ia mengambil gambar. Ia harus memastikan bahwa gambar yang diambilnya sudah tajam (fokus), komposisi gambar (framing) yang sudah tepat, pengaturan level atau tingkat suara sudah sesuai, warna gambar yang sesuai dengan warna aslinya (natural) dan ia telah mendapatkan gambar (shots) yang terbaik.
Seorang juru kamera tidak hanya dituntut untuk dapat mengambil gambar dengan baik, tetapi ia juga harus memahami gambar apa saja yang diperlukan bagi suatu berita televisi. Seorang juru kamera yang kemampuannya baru sebatas dapat mengoperasikan kamera saja belumlah dapat dikategorikan seorang juru kamera berita telebisi. Siapapun dapat menggunakan kamera, tetapi tidak semua orang dapat menjadi juru kamera yang baik tanpa terlebih dulu mempelajari landasan teorinya.
Lalu apa landasan teori yang perlu diketahui seseorang sebelum ia dinyatakan siap menjadi juru kamera?
Profesionalisme seorang juru kamera televisi dalam mengambil gambar dinilai ketika gambar hasil karyanya diperiksa sebelum diedit di ruang editing. Pengetahuan dasar mengenai teknik editing gambar mutlak harus diketaui oleh seorang juru kamera. Pemahaman teknik editing sangatlah penting bagi juru kamera sebagai dasar baginya untuk mengambil gambar. Banyak kalangan jurnalis berpendapat, seseorang harus belajar mengedit hambar terlebih dahulu sebelum ia terjun dan bekerja sebagai juru kamera. Jika editor banyak mengeluhkan gambar yang disediakan juru kamera maka besar kemungkinan juru kamera tersebut belum memiliki pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip mengambil gambar yang baik dan benar.
Di ruang editing gambar-gambar yang diambil juru kamera harus dilihat kembali, dipilih dan kemudian digabungkan oleh penyunting gambar ke dalam suatu struktur yang saling bertautan, logis, dan masuk akal. Hasil editing harus dapat menjelaskan berita yang disampaikan secara visual sesuai dengan durasi waktu yang telah ditetapkan. Juru kamera harus menyediakan gambar-gambar yang dibutuhkan oleh editor gambar. Apa yang dibutuhkan editor gambar tidak sekedar gambar utama tetapi juga gambar penunjang, juru kamera yang mengambil begitu banyak shot tanpa menunjukkan hubungan yang jelas antara berbagai shot itu, maka sebenarnya ia hanya akan memberikan persoalan kepada editor gambar.
Pada dasarnya teknik pengambilan gambar untuk setiap jenis liputan adalah sama saja, apakah dalam pengambilan gambar untuk berita singkat, liputan khusus, atau membuat film dokumenter. Dalam liputan olah raga, misalnya pada suatu pertandingan sepak bola, maka juru kamera akan lebih banyak menggunakan teknik pengambilan gambar yang merupakan gabungan antara wide shot, yaitu sudut pengambilan gambar yang melebar, dan pengambilan gambar close up.
Dalam pertandingan sepak bola kamera akan banyak mengambil gambar-gambar selingan (cutaway) ke arah pelatih atau manajer sepak bola yang bertanding, shot ke penonton, dan gambar-gambar slow motion untuk replay gambar. Liputan langsung pertandingan sepakbola membutuhkan lebih banyak kamera yang diletakkan di berbagai posisi strategis di stadion. Selain itu beberapa kamera perlu diletakkan pada posisi yang lebih tinggi agar diperoleh gambar yang lebih baik.
Teknik yang sama dibutuhkan pula dalam liputan konser musik namun dengan tingkat pergerakan kamera, --seperti pan dan zoom-- yang berbeda, tergantung dari alunan musik yang dimainkan saat itu. Juru kamera akan lebih bebas lagi ketika mengambil gambar untuk membuat video musik. Bisa dikatakan tidak ada peraturan yang membatasi kreativitas juru kamera dalam mengambil gambar untuk pembuatan video musik. Pada dasarnya teknik pengambilan gambar merupakan upaya juru kamera untuk menerjemahkan suatu peristiwa yang dilihatnya yang mungkin saja cenderung subjektif. Namun tingkat subjektifitas ini tergantung pada program macam apa yang tengah dikerjakan. Misalnya apakah liputan itu lebih menekankan pada fakta, misalnya kecelakaan atau bencana alam, atau lebih menekankan pada nilai artistik, misalnya dalam liputan konser musik atau hiburan.
Terkadang posisi pengambilan gambar yang baik sangat bergantung pada kecepatan juru kamera tiba di lokasi peristiwa. Kemampuan tim untuk segera tiba di lokasi peristiwa adalah faktor penting dalam kesuksesan suatu liputan. Peristiwa yang berifat darurat (civil emergencies) seperti banjir, kecelakaan transportasi, kebakaran, atau peristiwa kriminalitas adalah peristiwa yang dapat muncul setiap saat, namun biasanya akan cepat pula menghialng dari pemberitaan. Liputan seperti ini tidak berumur panjang karena cepat dilupakan orang. Namun demikian dibutuhkan tim liputan yang dapat bergerak cepat ke lokasi agar diperoleh gambar terbaik dari peristiwa itu. Peralatan kamera harus segera dapat digunakan dan juru kamera harus bergerak cepat dalam mengambil gambar.
Salah satu prinsip dalam pengambilan gambar yang benar adalah tidak boleh terlalu banyak meninggalkan ruangan kosong pada layar. Teknik yang perlu diterapkan saat mengambil gambar adalah tidak banyak membuat ruang kosong pada layar dengan menggunakan metode komposisi. Satu dari metode komposisi yang paling sederhana disebut Trianggulasi, dimana pusat perhatian ditempatkan pada puncak suatu segitiga dengan bagian-bagian penting lainnya berada pada dasar segitiga itu.
Metode komposisi lainnya disebut Golden Mean. Metode ini menyatakan apabila layar telebisi dibagi menjadi tiga bagian, baik secara horisontal dan vertikal, maka empat titik pertemuan dari garis horizontal dan vertikal itu merupakan empat titik yang akan menjadi pusat perhatian penintit paling kuat. Sebagai peraturan umum, komposisi gambar harus berada dalam posisi mantap ketika rekaman gambar berlangsung.
Reporter dan juru kamera harus memiliki pengetahuan tentang teknik pengambilan gambar agar gambar tampak bagus. Setiap ghambar harus memberikan pesan yang jelas dan tidak membiarkan pemirsa bertanya-tanya apa yang menjadi topik perhatian dari suatu gambar yang ditampilkan.

Kerjasama Reporter, Juru Kamera, dan Editor
Seorang juru kamera yang baik akan selalu menyempatkan diri untuk melihat hasil editing gambar hasil karyanya. Ketika melihat hasil editing, juru kamera terkadang kecewa karena editor tidak memasukkan gambar-gambar yang menurut juru kamera adalah gambar yang bagus. Menurut juru kamera hasil kerja editor tidak bagus karena tidak mengambil gambar terbaik yang telah diambilnya dengan susah payah. Persoalannya adalah editor tidak mengetahui apakah suatu shot itu merupakan shot yang sulit. Penyunting gambar tidak berada di lokasi untuk mengetahui bahwa suatu gambar telah direkam dengan susah payah, sehingga karena itu ia tidak memberikan apresiasinya terhadap pekerjaan juru kamera.
Terkadang juru kamera merekam gambar yang panjang, dibutuhkan dua kaset untuk mengambil seluruh gambar. Juru kamera kembali mengeluh karena gambar yang bagus di ujung kaset kedua tidak digunakan dan ediitor hanya menggunakan gambar dari kaset pertama. Di sinilah terlihat bahwa editor, juru kamera dan tentu saja reporterharus saling berkomunikasi agar terjalin saling pengertian. Reporter dan juru kamera perlu memberi tahu penyunting gambar mengenai gambar-gambar terpenting dan yang paling dramatis yang perlu diambil editor ketika ia menyunting gambar tersebut.  
Beberapa stasiun televisi belakangan ini mulai memperkenalkan apa yang disebut dengan Portable Field Editor, khususnya dalam pembuatan majalah berita televisi (news and magazine coverage) yang tidak mengenal lagi perbedaan antara editor dan juru kamera. Dalam hal ini tidak dikenal lagi pembagian kerja dimana juru kamera atau reporter menyerahkan hasil shot yang dibuatnya kepada orang lain untuk dikerjakan setelah tim liputan pulang dari lokasi. Dengan cara ini maka juru kamera adalah editor, dan editor adalah juru kamera. Prioritas seorang juru kamera dan prioritas seorang editor berada di satu tangan. Juru kamera bisa saja mengambil gambar-gambar favorit sepuasnya karena sebagai editor ia yakin gambar itu akan dapat dugunakannya dalam proses penyuntingannya nanti.