Sabtu, 12 Oktober 2013

TEORI DASAR PRODUKSI FILM FIKSI DOKUMENTER : BENTUK FILM

BAGIAN I

Signifikansi Bentuk Film

Bentuk dipahami sebagai sesuatu yang menjadi bentuk keteraturan, kesatuan dan identitas sebuah subjek. Dari bentuk ini segalal sesuatu bisa menjadi tertib dan mudah dimengerti. Begitu pula dengan film, sebagai sebuah produk tentu saja memiliki bentuknya sendiri dan dengan bentuk ini pula film kemudian menjadi mudah untuk dipahami oleh pembuat dan penontonnya, termasuk para kriktikus. Pada sebuah film, yang dikategorikan sebagai bentuk adalah penceritaannya dan sebelum bebicara jauh mengenai bentuk film, maka harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar pemikiran bentuk film ini perlu ada, dengan catatan bahwa pembahasan bentuk ini dilihat dari sudut pandang penontonnya.

1.    Bentuk Film sebagai system

Bila mengenal teori sistem, maka bentuk film merupakan salah satu yang menggunakannya sebab terdiri dari unsur–unsur yang memiliki hubungan secara organik. Unsur–unsur itu adalah cerita, plot, ruang, waktu, karakter, hubungan sebab–akibat dan lain sebagainya. Setiap unsur memiliki fungsinya masing–masing dan saling bergantung antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, sehingga kesatuan (fungsi dan saling ketergantungan) dari unsur–unsur itulah yang disebut dengan sistem. Dengan kata lain, bila salah satu unsur itu hilang, maka bentuk film akan terganggu ataupun tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Kita ambil contoh, apabila menonton sebuah film yang yang tidak memiliki cerita, pastinya kita bingung untuk bisa menyimpulkan apa yang sudah dilihat. Contoh lain, sebuah film yang tidak memiliki karakter, maka kita sebagai penonton akan bingung mengidentifikasi sosok yang akan kita ikuti di dalam film. Oleh karena itu kesadaran bahwa unsur–unsur itu saling berkaitan menjadi sangat penting bagi para pembuat film.

2.    Bentuk Film dan isi Film

Bentuk merupakan sesuatu yang berpola dan bersifat tetap, sedangkan isi adalah sesuatu bisa berubah dan selalu mengikuti bentuknya. Bila diibaratkan bentuk adalah ember, gelas ataupun botol, maka isinya bisa bermacam–macam baik air, minyak, pasir, gula dan sebagainya. Misalnya air yang akan mengikuti bentuk embernya, gelas atau botolnya.

Begitu pula dengan cerita, kita bisa menggunakan cerita yang sama persis secara isi namun bila dikemas dengan bentuk yang berbeda maka cerita tersebut akan memiliki kesan yang berbeda pula. Bayangkan bila kita punya cerita percintaan antara Kiara dan Dondi, biasanya urutan waktu yang digunakan adalah linear dan progresif (maju ke depan). Tetapi bayangkan kalau ceritanya dimulai dari mereka menjadi sepasang kekasih sampai berakhir saat awal mereka berkenalan, artinya urutan waktunya berjalan mundur. Secara isi bisa jadi sama persis, namun secara bentuk waktunya berjalan mundur maka kesan yang ditangkap penonton akan berbeda.

3.    Konvensi dan Pengalaman

Jumlah film yang diproduksi di bumi ini tentunya sudah jutaan atau mungin sudah milyaran. Untuk mengakses tontonan film juga – relatif – bukan hal yang sulit. Penonton film tentunya akan terbiasa disuguhkan sesuatu baik secara bentuk maupun isi dan karena sudah terbiasa menonton film dengan bentuk, isi ataupun pola tertentu maka hal tersebut akhirnya melekat kuat di benak penontonnya. Selain itu penonton juga punya pengalaman dari kehidupan sehari–hari mereka yang terus dijalani dan tentunya sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi budaya. Informasi yang dikenali dari menonton film dan kehidupan sehari–hari mereka inilah yang akhirnya menjadi konvensi dan pengalaman tersebut yang akhirnya bisa melibatkan penilaian masyarakat terhadap film yang sedang ditonton.

Contoh kecil yang teradi dalam film Bendera karya Nan Achnas, kedua tokoh di dalam film itu tinggal di dekat stasiun kereta api dan mereka terbiasa melintasi rel kereta ketika menuju sekolah. Selain itu merka digambarkan juga bukan anak ‘kuper’, sehingga saat mereka berhasil naik kereta listrik saat mengejar bendera dan pulangnya justru tidak naik kereta listrik lagi menjadikan adegan ini aneh. Dikarenakan umumnya anak–anak yang tinggal di dekat stasiun kereta api sangat mengenal bagaimana harus naik kereta api tanpa membayar terutama dengan sistem perkeretaapian di Jakarta yang sangat ruwet. Bagi penonton yang tidak mengenal dunia kereta api mungkin permasalahan di atas dianggap lumrah, namun bagi yang terbiasa hidup di sekitaran kereta api dan stasiun, maka hal tersebut sangatlah janggal.

Dalam membuat film memang kita tidak bisa mengakomodasi seluruh konvensi yang ada di dunia ini, tetapi setidaknya seorang pembuat film harus pada tingkatan paham akan permasalahan yang diangkat, jangan sampai unsur–unsur yang dimasukkan di dalamnya terasa janggal, sebab bagaimanapun pendekatan realism memang dibutuhkan agar membuat penonton percaya.

4.    Pengharapan dalam bentuk Film

Memiliki konvensi di kepalanya, maka penonton akan selalu mencoba menebak adegan selanjutnya yang akan disuguhkan oleh pembuat film. Oleh karena itu sebaiknya pembuat film selalu punya jurus pamungkasnya, sebab kalau tebakan penonton selalu benar, maka tentu saja akan membuat kecewa.

Contohnya dalam sebuah adegan film yang menceritakan tentang anak yang mencari ibunya di sebuah pasar karena terpisah saat ibunya berbelanja. Biasanya penonton akan dituntun dengan rangkaian adegan sebagai berikut :

a.    Anak mencari ibunya di lorong x.
b.    Ibu terus berjalan ke depan
c.    Anak mencari ibunya di lorong z, sampai kemudian dia melihat sesosok perempuan yang berpakaian mirip dengan ibunya.
d.    Saat mendekati perempuan tersebut dan menggandeng tangannya, ternyata dia bukanlah ibunya.
e.    Sang ibu tetap tidak sadar

Adegan 1, 2 dan 3 biasanya sudah bisa ditebak dan diantisipasi penonton sehingga untuk mengecoh perhatiannya agar tebakan itu tidak selalu benar, maka pada adegan 4 penonton ‘ditipu’ dengan menghadirkan orang yang bukan ibunya.

Kalau mau dibuat semacam rumus dan pembuat filmnya hendak mengikuti pikiran penonton, misalkan adegan 1 dan 3 itu bisa dilambangkan dengan huruf A dan adegan 2 dilambangkan dengan huruf B, maka rangkaiannya adalah A, B, A … Bila anak menemukan ibunya sesuai pengharapan penonton, maka adegan 4 akan masuk kumpulan B yang menjadikan rumusnya A, B, A, B … Sedangkan pada adegan di atas, anak justru tertipu oleh pakaian yang mirip dengan ibunya sehingga pembuat filmnya justru mengecoh penontonnya sehingga rangkaiannya menjadi A, B, A, C …. dimana huruf C melambangkan adegan 4 yang mengecoh tebakan penonton.

Memang rangkaian adegan tidak selalu diarahkan begitu, sebab pembuat film sesekali bisa saja membuat tebakan penontonnya benar, namun sekali lagi kalau tebakan penonton selalu benar maka justru akan membuat penontonnya bosan sebab tidak ada lagi kejutan (Surprise) yang mereka dapatkan di dalam film tersebut.

5.    Bentuk Film dan Rasa

Bagaimanapun, bentuk film harus bisa dirasakan oleh penontonnya, sehingga berbicara tentang rasa maka hal itu terdiri dari dua aspek yaitu rasa yang dialami tokoh dan rasa yang diterima oleh penonton. Sesuatu yang dirasakan tokoh tentu saja seperti sedih, senang, jatuh cinta dan sebagainya. Rasa ini secara umum harus bisa dirasakan juga oleh penontonnya, namun apa yang dirasakan penonton tidak selalu harus dirasakan oleh tokoh dalam filmnya. Misalnya penonton bisa merasa cemas ketika tokoh hendak dipukul dari belakang, padahal pada adegan itu sang tokoh sedang melakukan rutinitasnya (sedang tidak mengalami rasa apapun) atau contoh lain misalnya tokoh yang sedang dikejar hantu, menemukan tempat persembunyian yang dianggapnya aman, namun ternyata tempat itu justru sarang hantu tersebut.

6.    Bentuk Film dan Makna

Bentuk film juga harus memiliki ataupun mengandung makna tertentu, sehingga informasi yang diterima oleh penonton menjadi lebih bernilai. Artinya tidak sekedar bernilai saat berlaku di film saja. Makna dalam bentuk film dibedakan menjadi :


  • Referential Meaning  
         Makna yang muncul dari referensi yang ada. Dalam film yang berhubungan dengan sejarah ada beberapa hal yang menjadi catatannya, misalnya dalam film Gie karya Riri Riza, orang kaya pada masa itu banyak yang menggunakan Holden, maka secara referential meaning mobil tersebut adalah mobil mewah. 
  • Explicit Meaning  
         Makna yang terlihat dan terdengar secara gambling dan lugas di layar, misalnya tokoh yang memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya berarti dia sedang makan, ataupun memasukan benda cair ke mulutnya berarti dia minum.

  •  Implicit Meaning 
         Makna yang ada dibenak penonton, sebab makna yang sebenarnya adalah yang tersirat. Misalnya ada tokoh antagonis yang memasukkan racun ke gelas minuman yang kemudian diminum oleh tokoh protagonis. Secara eksplisit tokoh protagonis itu sedanga minum dari sesuatu sebuah gelas, sedangkan secara implisit tokoh protagonis itu sedang dibunuh.

  •  Symptomatic Meaning 
          Makna terakhir ini terjadi karena kesimpulan penonton terhadap apa yang dilihat dan didengar di layar bioskop. Kesimpilan yang sering kita dengar adalah apa yang disebut dengan pesan moral, padahal yang dimaksud dengan symptomatic meaning ini secara lebih luas adalah ideologi yang dibawa penonton setelah menonton sebuah film. Misalnya dalam film Finding Nemo memiliki makna ideologis bahwa kasih orang tua akan selalu ada bagi anaknya walaupun melewati samudera luas.

7.    Evaluasi

Unsur terakhir dari urgensi adanya bentuk dari sebuah film adalah adanya evaluasi yang dilakukan penonton terhadap film yang dilihatnya. Penilaian paling sederhana oleh penonton adalah film yang dilihatnya dianggap baik atau buruk karena beberapa pertimbangan :
  • Kriteria Realistik
         Kriteria ini merupakan aspek yang paling sering di mana penonton merasa bahwa film yang dilihatnya dianggap bagus karena memenuhi kriteria realistik atau memenuhi kusen_pendekatan realisme yang cenderung sempurna. Film–film yang biasanya mengandung aspek ini seperti Gie, Stoned dan Welcome To Sarajevo yang cenderung bertipe Doku-Drama. Namun begitu tidak selalu film dengan tipe Doku-Drama sebab bisa saja walaupun fiksi juga bisa terlihat aspek realistiknya misalnya film American President yang sangat detil dalam mengahdirkan seluruh aspek yang berkaitan dengan Gedung Putih dan tempat peristirahatan Camp David. 

  • Kriteria Moral
         Kriteria ini berkaitan erat dengan symptomatic meaning pada bahasan sebelumnya, di mana penonton merasa sebuah film yang dilihat dianggap baik atau buruk karena nilai moralnya yang tinggi maupun rendah. Misalnya film Laskar Pelangi yang banyak disukai karena aspek perjuangan dari anak–anak SD Muhammadiyah di Belitung itu sangatlah mulia dan tinggi sehingga mampu memberi contoh dan dapat mempengaruhi penontonnya. Namun aspek moral tidak selalu bernilai tinggi sebab ada juga yang dianggap bernilai rendah seperti film Boyz N’ The Hood karya John Singleton yang justru memicu perang genk di Amerika setelah film tersebut diedarkan. 

  • Kriteria Kompleksitas
        Terkadang penonton merasa bahwa film yang baru ditontonnya bagus karena ceritanya yang rumit dan tidak mudah ditebak seperti yang dilakukan Alejandro González Iñárritu dalam filmnya seperti Amores Perros (2000), 21 Grams (2003) dan Babel (2006), ataupun seperti film Crash (2006) yang dibuat Paul Haggis. Kedua sutradara tersebut menggunakan kerumitan dalam bentuk multi–plot, artinya dalam film yang dibuatnya ada beberapa plot utama. Film jenis lain yang mengumbar kerumitan adalah misalnya Saw (2004) karya James Wan, di mana penonton diajak masuk ke dalam teka–teki yang pada akhrinya diberi kejutan yang sangat tidak diduga siapa dalang dari semua penyanderaan 

  • Kriteria Originalitas
        Kriteria terakhir adalah originalitas, film Waltz With Bashir (2008) karya Ari Folman mengetengahkan sebuah penceritaan yang umumnya digunakan dalam dokumenter, namun tipe film yang dipilihnya adalah animasi. Bisa juga seperti film karya Tim Burton, seperti Corpse Bride (2005) dan Nightmare Before Christmast (1994) yang distutradarai oleh Henry Selick, di mana yang diceritakan justru dunia hantu yang berusaha masuk ke dunia manusia namun tidak tahu caranya sehingga terjadi konflik di dalamnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar