Di bawah ini adalah beberapa film karya Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMI Makassar dan saya akan memberikan kronologis dari film-film tersebut.
1. LUKA TANPA DOSA
inilah film pertama karya mahasiswa Ilmu Komunikasi UMI, dimana dalam film ini menceritakan tentang pertemuan dua sejoli dalam satu universitas yang pada akhirnya menjalin suatu hubungan ( Pacaran ). Namun hubungan merekapun tak berjalan dengan baik sehingga mereka harus memutuskan hubungannya.
demikian kronologis singkat mengenai film tersebut. kalau kawan-kawan penasaran dan ingin menonton film ini, anda dapat menghubungi langsung sang sutradara nya. nih saya berikan nama facebook si sutradara nya itu..
klik disini ------> Al Amin
2. TERJEBAK MAYA
untuk kronologis nya, saya copy kata-katanya langsung dari kasetnya.
KRONOLOGI
Manto seorang mahasiswa semester V yang berjiwa sosial tinggi dan peka terhadap lingkungan sekitarnya, namun tingkah lakunya berubah 180 derajat ketika mengenal teknologi yang menghubungkannya lebih dekat kepada orang-orang yang baru dikenalnya. tetapi wahyu seorang sahabat mengingatkannya akan apa yang telah terjadi dalam diri manto.
demikian kronologis yang ada dalam film ini. untuk yang ingin menontonnya, saya sertakan nama facebook dan twitter sang sutradaranya.
Facebook klik di sini------> Akbar Gazali
Twitter klik di sini---------> Akbar Gazali
3. DIA ada
untuk yang satu ini, film nya..yah..boleh di bilang agak frontal. kenapa saya bilang frontal ? soalnya dalam film ini menceritakan tentang seorang pemuda dimana ia tidak percaya akan tuhan, dan menganggap semua yang ada di sekitarnya dapat dia ketahui dan di rasionalkan. namun tuhan berkata lain. sehingga tuhan memberikan bukti keberadaannya melalui cobaan-cobaan yang dialami nya.
bagi kawan-kawan yang penasaran dan ingin menontonnya, bisa hubungi sang produsernya di facebooknya
Facebook klik di sini--------> Zakiah Djumrah
demikian beberapa kronologis film karya Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMI Makassar
Minggu, 15 September 2013
Sabtu, 14 September 2013
DASAR-DASAR JURNALISTIK TV
TIM LIPUTAN BERITA
Keberhasilan redaksi pemberitaan berita sebuah stasiun
televisi banyak bergantung kepada tim liputan beritanya. Sebab stasiun televisi
tidak hanya menunggu berita yang datang tetapi harus mengejar berita, dan
karenanya dibutuhkan seorang reporter. Tetapi selain berita stasiun televisi
membutuhkan gambar, dan untuk itu diperlukan seorang juru kamera (camera
person). Sebab keunggulan televisi dibandingkan media massa lainnya adalah
bahwa khalayak bisa melihat peristiwa yang terjadi, karena berita yang
dibacakan didampingi adanya gambar. Bagi televisi gambar adalah segalanya, dan
tidak ada yang lebih buruk bagi seorang reporter televisi jika ia datang ke
kantor tanpa membawa gambar yang bisa menunjang berita yang akan ditulisnya.
Terlebih bila stasiun televisi lain justru memiliki gambar tersebut.
Kredibilitas stasiun televisi akan
turun drastis bahkan hanya dalam satu malam, bila tim liputannya gagal
mendapatkan gambar dari suatu peristiwa penting. Terlebih bila kegagalan itu
terjadi karena pada saat itu tidak ada juru kamera yang siap. Koordinasi antara
reporter dan juru kamera terkadang menjadi masalah dalam suatu liputan.
Misalnya si reporter sudah siap berangkat namun juru kamera belum ada, atau
sebaliknya.
Keberhasilan bagian pemberitaan stasiun
televisi banyak bergantung kepada reporter dan juru kamera yang ada di lapangan
serta korlip di ruang redaksi yang mengarahkan mereka. Namun kemampuan produser
dan eksekutif produser dalam menyusun acara juga tak kalah penting. Struktur
organisasi bagian pemberitaan televisi biasanya terdiri dari sejumlash jabatan,
seperti direktur pemberitaan (news director), eksekutif produser, produser,
koordinator liputan (korlip), reporter, juru kamera, driver, dan lain lain.
Namun efektifitas peliputan berita
redaksi pemberitaan sebuah stasiun televisi sebagian besar bergantung kepada
mereka yang bekerja di lapangan –tim liputan—yang terdiri dari para reporter
dan juru kamera. Ujung tombak dari suatu program berita stasiun televisi adalah
tim liputan berita. Kerjasama yang baik antara reporter dan juru kamera dalam
sebuah tim liputan akan menentukan kualitas berita yang dihasilkan atau
disampaikan kepada khalayak. Reporter dan juru kamera harus bekerja sama
sebagai satu tim kerja.
Tugas dan
Tanggung Jawab Reporter
Redaksi pemberitaan stasiun televisi membutuhkan wartawan
atau reporter televisi untuk program beritanya. Profesi sebagai reporter atau
wartawan televisi tidak diperuntukkan bagi orang-orang yang berjiwa lemah.
Sebab profesi ini membutuhkan stamina yang baik dan motivasi kerja yang tinggi.
Seorang reporter televisi harus memiliki
kegigihan dalam mengejar berita, cepat dan sigap dalam bekerja, mau bekerja
keras, bersedia tetap bekerja dan masuk kantor pada hari libur, dan siap
berangkat setiap saat dan kapanpun dibutuhkan ke lokasi liputan. Jadi
profesi ini tidak cocok bagi orang-orang yang bermental pegawai kantoran dengan
jadwal kerja teratur; masuk kantor pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 sore.
Seorang wartawan/reporter
televisibekerja secara cepat dalamhal mengumpulkan informasi, menentukan lead
sekaligus angle berita, kemudian menulis berita dan melaporkannya baik secara
langsung (live) ataupun direkam dalam
bentuk paket berita yang akan disiarkan kemudian. Perkembangan teknologi yang
cepat dalam pengiriman gambar dan suara (electronic
news-gathering techniques) mengharuskan wartawan televisi untuk bekerja
lebih cepat pula. Ia harus segera berangkat ke lokasi liputan, mengumpulkan
informasi di lapangan, menentukan angle dan lead berita, kemudian melaporkannya
baik secara langsung di depan kamera, maupun kepada redaksi pemberitaan untuk
kemudian bisa dibuat menjadi sebuah paket berita televisi. Dalam hal ini
seorang reporter yang memiliki ingatan yang kuat dan bisa langsung tampil secara live dengan
berbicara secara lancar dan teratur di depan kamera meski tanpa persiapan yang
cukup, mendapat kredit poin tersendiri.
Seorang reporter (selanjutnya kita
sebut wartawan) televisi terkadang harus meliput berita-berita kriminal atau
bencana dan harus mengunjungi lokasi musibah atau tempat terjadinya tindak
kejahatan. Lokasi berita kriminal seperti ini terkadang dipenuhi mayat yang
hancur atau berserakan dengan ceceran darah ada di mana-mana. Dalam hal ini
reporter televisi harus memiliki emosi dan kondisi psikis yang stabil agar ia
bisa menghadapi kondisi lapangan yang seperti itu untuk kemudianmelaporkannya.
Seorang reporter televisi tidak boleh bersikap emosional dan mudah terbawa
perasaan karena menyaksikan situasi di mana ia berada saat itu. Seorang
reporter televisi dituntut untuk tetap objektif dan berpikir jernih apapun
situasi yang tengah dihadapinya.
Wartawan televisi terkadang
ditempatkan di suatu pos tertentu untuk liputannya. Misalnya di kantor polisi,
pemda setempat, pengadilan, dll. Wartawan ada pula yang ditugaskan untuk khusu
meliput berita-berita yang terkait dengan bidang kesehatan, ekonomi, olahraga,
ilmu pengetahuan dan teknologi, dll. Semuanya merupakan liputan dari peristiwa
yang langsung jadi (on-the-spot news
coverage). Namun beberapa wartawan ada yang ditugaskan melakukan investigative
reporting yang biasanya membutuhkan waktu beberapa hari atau minggu untuk
mengumpulkan indormasi tergantung dari topik yang dibahas. Tugas penyelidikan
semacam ini terkadang dapat menimbulkan bahaya.
Stasiun televisi juga terkadang
mengirimkan wartawannya untuk meliput kawasan yang bergolak, misalnya perang
atau kerusuhan sosial. Wartawan terkadang harus menghadapi bahaya ketika
melakukan laporan langsung di wilayah yang tidak aman. Dalam hal ini wartawan
harus belajar bagaimana untuk bermanuver melewati berbagai situasi yang sulit
untuk menemukan informasi yang berharga.
Wartawan televisi seperti juga
wartawan radio adalah wartawan penyiaran (broadcast reporter). Mark W. Hall
dalam bukunya Broadcast Journalism menyebutkan bahwa wartawan penyiaran
adalah: “... a newsperson who works for a
radio or television”. Jadi wartawan penyiaran adalah seseorang yang bekerja
untuk stasiun radio atau televisi, termasuk para reporter televisi, yang
membuat suatu karya jurnalistik yang akan disiarkan melalui media radio atau
televisi. Sebagai wartawan penyiaran khususnya televisi, ia harus membekali
dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan yang luas melalui latihan-latihan
peliputan yang intensif (mendalam) dan juga mengetahui benar (paham) mengenai
sifat- sifat media penyiaran dalam hal ini televisi.
Selain harus kreatif, dalam arti
mengetahui benar peristiwa-peristiwa yang memiliki nilai jurnalistik, seorang
reporter televisi harus memahami ilmu jurnalistik. Wartawan televisi yang baik
adalah seseorang yang juga mampu menjadi penyaji berita yang baik. Dalam hal
ini ia tidak saja dituntut untuk dapat menulis berita dengan baik dan benar,
tapi ia juga dapat menyampaikan berita dengan ucapan kata-kata yang baik di
depan kamera, lengkap dengan mimik dan ekspresi yang menunjang (memiliki body languange). Dalam hal ini seorang
reporter televisi dituntut juga untuk dapat menjadi seorang penyiar (news caster).
Meski seorang reporter dan juru
kamera harus bisa bekerja sama sebagai satu tim kerja, namun pada akhirnya reporterlah
yang bertanggung jawab atas hasil liputan yang dilakukan; sebauh paket berita
akhir. Oleh karena itu reporter harus mengarahkan juru kamera agar mendapatkan
semua gambar (shots dan sequences) yang dibutuhkan untuk mengilustrasikan
berita yang akan disajikan. Pada sebagian besar peliputan berita, reporter
adalah juga seorang produser dan sutradara yang memiliki tugas ganda, yaitu :
- Memastikan bahwa juru kamera mendapatkan semua news shot (gambar berita) yang ia butuhkan untuk penyampaian laporan berita.
- Mengumpulkan informasi faktual selengkap-lengkapnya sebagai bahan untuk menulis berita (voice over).
Seiring dengan kemajuan teknologi belakangan ini,
beberapa stasiun televisi telah menjajaki jurnalisme foto –di mana reporter
merekam gambarnya sendiri—artinya seorang reporter juga mampu mengoperasikan
kamera dan melakukan pengambilan gambar secara baik dan benar. Stasiun televisi
di negara maju bahkan telah menerapkan konsep “video journalist” (VJ), dimana reporter juga bertindak sebagai juru
kamera yang mampu merekam gambarnya sendiri, bahkan mengedit sendiri materi
beritanya hingga siap tayang. Dengan demikian reporter bertindak sebagai juru
kamera dan editor.
Terlepas dari apakah stasiun televisi tempat anda bekerja
nantinya telah menerapkan pendekatan itu atau belum, seorang reporter harus
tetap bisa memahami tugas juru kamera,
demikian pula sebaliknya. Keduanya harus saling memahami tugas dan
tanggungjawab masing-masing saat bekerja. Seorang reporter harus memahami
kemampuan dan keterbatasan kamera agar ia bisa bekerja secara efektif.
Komunikasi adalah kunci efektivitas ketika melakukan shooting di lokasi.
Tugas dan
Tanggung Jawab Juru Kamera
Juru kamera (camera
person) bertanggung jawab atas semua aspek teknis pengambilan dan perekaman
gambar. Seorang juru kamera harus memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang
dilakukannya ketika ia mengambil gambar. Ia harus memastikan bahwa gambar yang
diambilnya sudah tajam (fokus), komposisi gambar (framing) yang sudah tepat, pengaturan level atau tingkat suara
sudah sesuai, warna gambar yang sesuai dengan warna aslinya (natural) dan ia
telah mendapatkan gambar (shots) yang
terbaik.
Seorang juru kamera tidak hanya dituntut untuk dapat
mengambil gambar dengan baik, tetapi ia juga harus memahami gambar apa saja
yang diperlukan bagi suatu berita televisi. Seorang juru kamera yang
kemampuannya baru sebatas dapat mengoperasikan kamera saja belumlah dapat
dikategorikan seorang juru kamera berita telebisi. Siapapun dapat menggunakan
kamera, tetapi tidak semua orang dapat menjadi juru kamera yang baik tanpa
terlebih dulu mempelajari landasan teorinya.
Lalu apa landasan teori yang perlu diketahui seseorang
sebelum ia dinyatakan siap menjadi juru kamera?
Profesionalisme seorang juru kamera televisi dalam
mengambil gambar dinilai ketika gambar hasil karyanya diperiksa sebelum diedit
di ruang editing. Pengetahuan dasar mengenai teknik editing gambar mutlak harus
diketaui oleh seorang juru kamera. Pemahaman teknik editing sangatlah penting
bagi juru kamera sebagai dasar baginya untuk mengambil gambar. Banyak kalangan
jurnalis berpendapat, seseorang harus belajar mengedit hambar terlebih dahulu
sebelum ia terjun dan bekerja sebagai juru kamera. Jika editor banyak
mengeluhkan gambar yang disediakan juru kamera maka besar kemungkinan juru
kamera tersebut belum memiliki pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip
mengambil gambar yang baik dan benar.
Di ruang editing gambar-gambar yang diambil juru kamera
harus dilihat kembali, dipilih dan kemudian digabungkan oleh penyunting gambar
ke dalam suatu struktur yang saling bertautan, logis, dan masuk akal. Hasil
editing harus dapat menjelaskan berita yang disampaikan secara visual sesuai
dengan durasi waktu yang telah ditetapkan. Juru kamera harus menyediakan
gambar-gambar yang dibutuhkan oleh editor gambar. Apa yang dibutuhkan editor
gambar tidak sekedar gambar utama tetapi juga gambar penunjang, juru kamera
yang mengambil begitu banyak shot tanpa menunjukkan hubungan yang jelas antara
berbagai shot itu, maka sebenarnya ia hanya akan memberikan persoalan kepada
editor gambar.
Pada dasarnya teknik pengambilan gambar untuk setiap
jenis liputan adalah sama saja, apakah dalam pengambilan gambar untuk berita
singkat, liputan khusus, atau membuat film dokumenter. Dalam liputan olah raga,
misalnya pada suatu pertandingan sepak bola, maka juru kamera akan lebih banyak
menggunakan teknik pengambilan gambar yang merupakan gabungan antara wide shot,
yaitu sudut pengambilan gambar yang melebar, dan pengambilan gambar close up.
Dalam pertandingan sepak bola kamera akan banyak
mengambil gambar-gambar selingan (cutaway) ke arah pelatih atau manajer sepak bola
yang bertanding, shot ke penonton, dan gambar-gambar slow motion untuk replay
gambar. Liputan langsung pertandingan sepakbola membutuhkan lebih banyak kamera
yang diletakkan di berbagai posisi strategis di stadion. Selain itu beberapa
kamera perlu diletakkan pada posisi yang lebih tinggi agar diperoleh gambar
yang lebih baik.
Teknik yang sama dibutuhkan pula dalam liputan konser
musik namun dengan tingkat pergerakan kamera, --seperti pan dan zoom-- yang
berbeda, tergantung dari alunan musik yang dimainkan saat itu. Juru kamera akan
lebih bebas lagi ketika mengambil gambar untuk membuat video musik. Bisa
dikatakan tidak ada peraturan yang membatasi kreativitas juru kamera dalam
mengambil gambar untuk pembuatan video musik. Pada dasarnya teknik pengambilan
gambar merupakan upaya juru kamera untuk menerjemahkan suatu peristiwa yang
dilihatnya yang mungkin saja cenderung subjektif. Namun tingkat subjektifitas
ini tergantung pada program macam apa yang tengah dikerjakan. Misalnya apakah
liputan itu lebih menekankan pada fakta, misalnya kecelakaan atau bencana alam,
atau lebih menekankan pada nilai artistik, misalnya dalam liputan konser musik
atau hiburan.
Terkadang posisi pengambilan gambar yang baik sangat
bergantung pada kecepatan juru kamera tiba di lokasi peristiwa. Kemampuan tim
untuk segera tiba di lokasi peristiwa adalah faktor penting dalam kesuksesan
suatu liputan. Peristiwa yang berifat darurat (civil emergencies) seperti
banjir, kecelakaan transportasi, kebakaran, atau peristiwa kriminalitas adalah peristiwa
yang dapat muncul setiap saat, namun biasanya akan cepat pula menghialng dari
pemberitaan. Liputan seperti ini tidak berumur panjang karena cepat dilupakan
orang. Namun demikian dibutuhkan tim liputan yang dapat bergerak cepat ke
lokasi agar diperoleh gambar terbaik dari peristiwa itu. Peralatan kamera harus
segera dapat digunakan dan juru kamera harus bergerak cepat dalam mengambil
gambar.
Salah satu prinsip dalam pengambilan gambar yang benar
adalah tidak boleh terlalu banyak meninggalkan ruangan kosong pada layar.
Teknik yang perlu diterapkan saat mengambil gambar adalah tidak banyak membuat
ruang kosong pada layar dengan menggunakan metode komposisi. Satu dari metode
komposisi yang paling sederhana disebut Trianggulasi, dimana pusat perhatian
ditempatkan pada puncak suatu segitiga dengan bagian-bagian penting lainnya
berada pada dasar segitiga itu.
Metode komposisi lainnya disebut Golden Mean. Metode ini
menyatakan apabila layar telebisi dibagi menjadi tiga bagian, baik secara
horisontal dan vertikal, maka empat titik pertemuan dari garis horizontal dan
vertikal itu merupakan empat titik yang akan menjadi pusat perhatian penintit
paling kuat. Sebagai peraturan umum, komposisi gambar harus berada dalam posisi
mantap ketika rekaman gambar berlangsung.
Reporter dan juru kamera harus memiliki pengetahuan
tentang teknik pengambilan gambar agar gambar tampak bagus. Setiap ghambar
harus memberikan pesan yang jelas dan tidak membiarkan pemirsa bertanya-tanya
apa yang menjadi topik perhatian dari suatu gambar yang ditampilkan.
Kerjasama
Reporter, Juru Kamera, dan Editor
Seorang juru kamera yang baik akan selalu menyempatkan
diri untuk melihat hasil editing gambar hasil karyanya. Ketika melihat hasil
editing, juru kamera terkadang kecewa karena editor tidak memasukkan
gambar-gambar yang menurut juru kamera adalah gambar yang bagus. Menurut juru
kamera hasil kerja editor tidak bagus karena tidak mengambil gambar terbaik
yang telah diambilnya dengan susah payah. Persoalannya adalah editor tidak
mengetahui apakah suatu shot itu merupakan shot yang sulit. Penyunting gambar
tidak berada di lokasi untuk mengetahui bahwa suatu gambar telah direkam dengan
susah payah, sehingga karena itu ia tidak memberikan apresiasinya terhadap
pekerjaan juru kamera.
Terkadang juru kamera merekam gambar yang panjang,
dibutuhkan dua kaset untuk mengambil seluruh gambar. Juru kamera kembali
mengeluh karena gambar yang bagus di ujung kaset kedua tidak digunakan dan
ediitor hanya menggunakan gambar dari kaset pertama. Di sinilah terlihat bahwa
editor, juru kamera dan tentu saja reporterharus saling berkomunikasi agar
terjalin saling pengertian. Reporter dan juru kamera perlu memberi tahu
penyunting gambar mengenai gambar-gambar terpenting dan yang paling dramatis
yang perlu diambil editor ketika ia menyunting gambar tersebut.
Beberapa stasiun televisi belakangan ini mulai
memperkenalkan apa yang disebut dengan Portable Field Editor, khususnya
dalam pembuatan majalah berita televisi (news
and magazine coverage) yang tidak mengenal lagi perbedaan antara editor dan
juru kamera. Dalam hal ini tidak dikenal lagi pembagian kerja dimana juru
kamera atau reporter menyerahkan hasil shot yang dibuatnya kepada orang lain untuk
dikerjakan setelah tim liputan pulang dari lokasi. Dengan cara ini maka juru
kamera adalah editor, dan editor adalah juru kamera. Prioritas seorang juru
kamera dan prioritas seorang editor berada di satu tangan. Juru kamera bisa
saja mengambil gambar-gambar favorit sepuasnya karena sebagai editor ia yakin
gambar itu akan dapat dugunakannya dalam proses penyuntingannya nanti.
METODE PENELITIAN KOMUNIKASI (analisis framing)
1.
KONSEP FRAMING
Analisis
framing versi terbaru dari pendekatan
wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Dan yang pertama kali
melontarkan tentang framing adalah Beterson 1955 (Sudibyo 1999 : 23). Mulanya
frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang
mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta menyediakan
kategori – kategori standar untuk mengapresiasi realitas.
Dalam ranah studi komunikasi,
mewakili analisis tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner
untuk menganalisis fenomena atau aktifitas komunikasi. Konsep framing adalah
murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi di pinjam oleh ilmu kognitif (psikologi). Dalam praktiknya, analisis
framing juga membuka peluang untuk implementasi konsep sosiologi, politik dan
cultural untuk menganalisis fenomena komunikasi.
Ilmu ini
bekerja didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa ditemui di berbagai
literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana, analisis
bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi bahasa, visual, dan pelaku
dan menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan
mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui
bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat diinterpretasikan secara efisien
dalam hubungannya dengan ide penulis.
Dalam perspektif komunikasi, framing digunakan untuk membedah
cara atau ideology media saat
mengkonstruksi fakta. Dengan kata lain framing di gunakan untuk mengetahui
bagaimana cara pandang wartawan dalam menyeleksi isu dan menulis berita. Dalam
konsep psikologis, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks
yang unik. Dalam konsep ilmu lain konsep framing terkesan tumpang tindih,
fungsi frame kerap dikatakan sebagai struktur internal dalam pikiran dan
perangkat yang dibangun dalam wacana politik.
2. TEKNIK FRAMING
Secara teknis sangat tidak mungkin
seorang jurnalis memframing seluruh bagian berita, atau dalam kata lain
hanyalah berita yang terpenting yang akan menjadi objek framing jurnalis. Framing
dalam berita dilakukan dengan empat cara:
·
Identifikasi Masalah
·
Identifikasi Penyebab Masalah
·
Evaluasi Moral
·
Saran Penaggulangan Masalah
Menurut
Abrar (2000:73) menyebutkan bahwa pada umumnya
ada empat teknik memframing berita yang digunaka oleh wartawan
1)Cognitive Dissonance (ketidaksukaan sikap dan perilaku), 2)empati (membentuk
“pribadi khayal”), 3)Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan),
4)Assosiasi (menggabungkan kondisi, kebijakan dan objekyang sedang actual
dengan focus berita).Dan sekurangnya ada tiga bagian yang menjadi objek framing
seorang wartawan, yaitu ; judul berita, focus berita dan up berita.
Analisis framing bisa dilakukan
dengan bermacam-macam focus dan tujuan. Pendekatan framing di bagi menjadi dua
:
a) Pendekatan Kultural
Meliputi identifikasi dan kategorisasi terhadap
penanggulangan, penempatan, asosiasi, dan penajaman kata, kalimat dan proposisi
tertentu dalan suatu wacana.
b)
Pendekatan Individual
Frame dalam level individu menimbulkan konsekuensi bahwa
untuk tujuan tertentu, studi framing tidak bisa hanya dilakukan dengan analisis
isi terhadap teks media. Menurut Sudibyo ( 1999:42 ) analisis framing terhadap
skemata individu bisa dilakukan dengan polling atau wawancara komprehensif.
3. MODEL FRAMING
Ada dua model framing yang sering
digunakan:
A. Model Zhongdang Pan dan Gerald M. kosicki
Melalui tulisan “a framing analysis: An approach to New
Discourse” meng-opersionalisasikan empat dimensi structural teks berita sebagai
perangkat teks framing: sintaksis, skrip, tematik dan retoris yang membentuk
semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantic berita dalan koherensi
global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita memiliki frame berfungsi
sebagai pusat organisasi berita. Dalam pendekatan ini framing di bagi menjadi 4
struktur besar :
1. Struktur Sintaksis
Bisa diamati dari bagan berita yang meliputi cara wartawan menyusun.
berita.
Struktur sintaksis memiliki perangkat:
a.
Headline merupakan
berita yang dijadikan topik utama oleh media.
b.
Lead (teras
berita) merupakan paragraf pembuka dari sebuah berita yang biasanya mengandung
kepentingan lebih tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada ideologi penulis
terhadap peristiwa.
c.
Latar informasi
d.
Kutipan
e.
Sumber
f.
Pernyataan
g.
Penutup
- Struktur Skrip
Skrip adalah cara wartawan mengisahkan fakta. Melihat bagaimana strategi
bertutur atau bercerita yang digunakan wartawan dalam mengemas berita.
Struktur skrip memfokuskan perangkat framing pada kelengkapan berita :
a.
What (apa)
b.
When (kapan)
c.
Who (siapa)
d.
Where (di mana)
e.
Why (mengapa)
f.
How
(bagaimana)
- Struktur Tematik
Bagaimana seorang wartawan mengungkapkan suatu peristiwa
dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara
keseluruhan.
a.
Struktur tematik mempunyai perangkat framing:
b.
Detail
c.
Maksud dan hubungan kalimat
d.
Nominalisasi antar kalimat
e.
Koherensi
f.
Bentuk kalimat
g.
Kata ganti
- Struktur Retoris
Bagaimana seorang waratawan menekankan arti tertentu atau dalam kata lain
penggunaan kata, idiom, gambar dan grafik yang digunakan untuk memberi penekanan
arti tertentu. Struktur retoris mempunyai perangkat framing :
a.
Leksikon/pilihan kata
Perangkat ini
merupakan penekanan terhadap sesuatu yang penting.
b.
Grafis
c.
Metafor
d.
Pengandaian
B.
Gamson dan Modigliani
Didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat
representasi media, berita dan artikel, terdiri atas Package Interaktif yang
mengandung konstruksi makna tertentu. Dalam Package Interaktif terdapat dua
struktur :
a.
Core Frame
Merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang
membantu komunikator menunjukkan substansi isu yang dibicarakan.
b.
Condensing Symbol
Memiliki dua struktur framing devices dan reasoning
devices. Framing Devices mencakup methapore, exemplar, cathcpharses, deceptions
dan visual image yang menekankan pada bagaimana “melihat” aspek suatu isu atau
berita. Sedangkan Reasoning Devices menekankan
aspek pembenaran terhadap cara “melihat” isu, yakni roots dan appeals to
principle.
4. Model Proses Framing
Proses
analisis ini dibagi menjadi empat bagian :
A. Frame
Bulding (Bangunan Bingkai/Frame)
Studi ini mencakup tentang dampak
faktor-faktor pengendalian diri terhadap organisasi, nila-nilai profesional
dari wartawan, atau harapan terhadap audien terhadap bentuk dan isi berita.
Studi ini belum mampu menjawab bagaimanakah media dibentuk atau tipe
pandangan/analisis yang dibentuk dari proses ini. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah proses yang mampu memberikan pengaruhnya terhadap kreasi atau perubahan
analisa dan penulisan yang diterapkan oleh wartawan.
Frame bulding meliputi
kunci pertanyaan: faktor struktur dan organisasi seperti apa yang mempengaruhi
sistem media, atau karakteristik individu wartawan seperti apa yang mampu
mempengaruhi penulisan sebuah berita terhadap peristiwa.
Faktor kedua yang mempengaruhi penulisan berita adalah
pemilihan pendekatan yang digunakan wartwan dalam penulisan berita sebagai
konsekuensi dari tipe dan orientasi politik, atau yang disebut sebagai
“rutinitas organisasi”. Faktor ketiga adalah pengaruh dari sumber-sumber
eksternal, misalnya aktor politik dan otoritas.
B. Frame
setting (Pengkondisian Framing)
Proses kedua yang perlu diperhatikan dalam framing sebagai teori efek media adalah frame setting. Para ahli berargumen
bahwa frame setting didasarkan pada
proses identivikasi yang sangat penting. Frame
setting termasuk salah satu aspek pengkondisian agenda (agenda setting). Agenda setting lebih menitikberatkan pada isu-isu yang
menonjol/penting, frame setting, agenda setting tingkat kedua, yang
menitikberatkan pada atribut isu-isu penting. Level pertama dari agenda setting adalah tarnsmisi objek
yang penting, sedangkan tingkat kedua adalah transmisi atribut yang penting.
Namun, Nelson dalam Scheufele (1999:116) menyatakan bahwa
analisa penulisan berita mempengaruhi opini dengan penekanan nilai spesifik,
fakta, dan pertimbangan lainnya, kemudian diikuti dengan isu-isu yang lebih
besar, nyata, dan relevan dari pada memunculkan analisa baru.
C. Individual-Level
Effect of Farming (Tingkat Efek Framing
terhadap Individu)
Tingkat pengaruh individual terhadap seseorang akan membentuk
beberapa variabel perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya telah
dilakukan dengan manggunakan model kota hitam (black-box model). Dengan kata lain, studi ini terfokus pada input dan output, dan dalam kebanyakan kasus, proses yang menghubungkan
variabel-variabel kunci diabaikan.
Kebanyakan penelitian melakukan percobaan pada nilai keluaran
framing tingkat individu. Meskipun
telah memberikan kontribusi yang penting dalam menjelaskan efek penulisan
berita di media dalam hubungannya dengan perilaku, kebiasaan, dan variabel
kognitif lainnya, studi ini tidak mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa dua
variabel dihubungkan satu sama lain.
D. Journalist
as Audience (Wartawan sebagai Pendengar)
Pengaruh
dari tata mengulas berita pada isi yang sama dalam media lain adalah fungsi
beragam faktor. Wartawan akan lebih
cenderung untuk melakukan pemilihan konteks. Di sini, diharapkan wartawan dapat
berperan sebagai orang yang mendengarkan analisa pembaca sehingga ada timbal
balik ide. Akibatnya, analisa wartawan
tidak serta merta dianggap paling benar dan tidak terdapat kelemahan.
Framing sebagai teori efek media
membutuhkan konsep proses model dari pada terfokus pada input dan output. Oleh
karena itu, penilitian masa depan harus mengakomodasi empat kunci di atas.
Model proses diharapakan menjadi acuan kerja masa depan yang secara sistematis
mampu memberikan pemecahan terhadap isu-isu framing
dan melakukan pendekatan detail dalam teori yang koheren.
Langganan:
Postingan (Atom)