MEMAHAMI EDITING
Shot merupakan bagian paling dasar dari sebuah film. Shot dalam film baru bermakna setelah digabungkan dengan shot lainnya dan disusun menjadi sequence. Secara fisik, editing hanyalah mengabungkan satu shot dengan lainnya. Shot digabung menjadi Scene ‑ Scene. Pada dasamya, editing menghilangkan ruang dan waktu yang tidak penting serta, menghubungkan shot satu dengan shot lainnya, satu adegan dengan lainnya dan seterusnya.
Kontinuitas
Pada awal lahirnya (akhir tahun 1890‑an), film masih sangat singkat. Hanya terdiri dari kejadian‑kejadian singkat yang diambil long shot dalam single take. Tak lama kemudian, pembuat film mulai membuat cerita yang sederhana dan terdiri lebih dari satu shot.
Pada awal abad ke‑20, pembuat film telah menemukan jenis editing yang fungsional yang sekarang kita sebut cutting to continuity. Cutting jenis ini adalah teknik yang digunakan pada kebanyakan film fiksi sampai saat ini. Pada dasamya gaya editing ini sejenis stenografi, terdiri dari kaidah‑kaidah yang mempertimbangkan waktu (timehonored conventions). Continuity cutting mencoba untuk mempertahankan alur kejadian tanpa menunjukkan semuanya secara harfiah.
Sebagai contoh, continuous shot pada seorang wanita yang pergi bekerja dan pulang ke rumah dapat membutuhkan waktu 45 menit. Cutting to continuity menyingkatnya menjadi lima atau enam shot singkat, masing‑masing shot berhubungan dengan shot berikutnya. (1) Dia memasuki koridor sambil menutup pintu kantomya. (2) Dia meninggalkan gedung kantomya. (3) Dia memasuki mobil dan menyalakannya. (4) Dia menyetir mobilnya di jalan tol. (5) Mobilnya berbelok ke jalan rumahnya. Keseluruhan adegan 45 menit mungkin hanya memakan waktu 10 detik, namun tidak ada, hal penting yang tertinggal.
Untuk menjaga, adegan tetap logis dan kontinyu, jangan sampai ada jeda yang membingungkan. Sering kali, semua pergerakan dilakukan dari arah yang sama untuk menghindari timbulnya kebingungan. Sebagai contoh, jika seorang wanita bergerak dari kanan ke kiri dalam satu shot dan pergerakannya pada shot lainnya dari kiri ke kanan, kita mungkin akan berpikir dia kembali ke kantornya. Hubungan sebab‑akibat harus dinyatakan. Jika wanita tersebut mengerem mendadak, sutradara biasanya diharuskan menampilkan shot tentang apa yang mendorong wanita tersebut berhenti secara tiba‑tiba.
Pada Cutting to continuity kontinuitas ruang dan waktu yang sebenarnya dipecah sehalus mungkin, transisi editing dapat menyebabkan disorientasi. Oleh karena itu, istilah jump‑cut, yang berarti suatu transisi editing yang membingungkan dalam hal ruang dan waktu. Untuk membuat transisinya menjadi halus, biasanya pembuat film menggunakan establishing shot pada awal cerita atau pada awal adegan baru.
Pada tahun 1908, saat D.W.Griffith memasuki bidang pembuatan film, ia telah mempelajari cara untuk bercerita melalui teknik cutting to continuity. Namun ceritanya masih sederhana dan kasar dibandingkan dengan media cerita yang lebih rumit seperti kesusasteraan dan seni drama. Meskipun demikian, pembuat film cerita telah mengetahui bahwa dengan dekupase (memecah satu adegan menjadi beberapa shot), adegan dapat dipersingkat atau diperpanjang, tergantung pada jumlah shot. Dengan kata lain, shot adalah unit dasar penyusunan film.
Film‑film sebelum masa Griffith biasanya diambil dalam long shot statis, kira‑kira seperti posisi pengamat yang dekat di live theater. Tapi dengan pemecahan letak shot menjadi eksterior dan interior, maka penonton akan merasa berada di dua tempat pada saat yang bersamaan karena durasi film tidak bergantung pada lama kejadian sebenamya, pembuat film pada masa ini memperkenalkan waktu yang lebih subyektif, yaitu yang ditentukan oleh lama shot (dan waktu yang secara tidak langsung hilang di antaranya), bukan oleh adegan sebenarnya.
D. W. Griffith dan Classical Cutting
Elemen dasar syntax editing sudah ada ketika Griffith terjun ke bidang ini, tapi dialah yang membentuk elemen‑elemen ini menjadi suatu bahasa kekuatan dan kehalusan. Para pembuat film telah menyebut ini sebagai Classical Cutting. Classical cutting sudah menjadi gaya editing yang rumit dan ekspresif. Classical cutting digunakan untuk intensitas dramatik dan penekanan emosional bukannya semata‑mata demi alasan fisik saja. Griffith dikenal sebagai Bapak Film karena dia menggabungkan dan mengembangkan berbagai teknik yang diciptakan oleh pendahulunya dan merupakan yang pertama melampaui ilusi kedalam dunia seni. Pada tahun 1915, lahir masterpiecenya, The Birth of Nation. Griffith telah menggunakan prinsip hubungan ide-ide dalam konsep editing dan mengembangkannya dalam berbagai cara.
Penggunaan close‑up dalam adegan dapat menciptakan efek dramatik yang belum pernah diperoleh sebelumnya. Close‑up pernah digunakan sebelumnya, namun Griffith adalah orang pertama yang menggunakannya bukan hanya untuk alasan fisik saja tetapi juga untuk alasan psikologis. Penonton saat ini dapat melihat detail‑detail terkecil dari wajah aktor. Sehingga lengkungan alis mata dapat menyampaikan berbagai kehalusan ekspresi.
Dengan melakukan dekupase (memecah adegan menjadi serangkaian shot yang terpisah‑pisah), Griffith tidak hanya berhasil mendapatkan detail yang lebih banyak, namun juga menguasai reaksi penonton yang jauh lebih besar. Dalam memilih dan menggabungkan long shot, medium shot dan close-up secara hati‑hati, secara konstan sudut pandang penonton dalam suatu adegan, dibuang, dipertegas, diperkuat, dihubungkan, dikontraskan, disejajarkan, dan seterusnya. Kemungkinannya sangat banyak. Kesatuan ruang dan waktu pada adegan sebenarnya berubah secara radikal. Hal tersebut digantikan dengan kontinuitas subjektif‑keterkaitan ide terkandung dalam shot‑shot yang terhubung.
Dalam bentuk yang paling halus, classical cutting menyajikan serangkaian shot yang terhubung secara psikologis yang tidak perlu dipisahkan oleh waktu dan ruang yang sebenarnya. Contohnya, jika ada empat karakter duduk, sutradara mungkin akan meng‑cut dari satu penutur ke penutur berikutnya dengan pertukaran dialog, kemudian meng‑cut untuk memperlihatkan shot terhadap reaksi pendengarnya, kemudian menampilkan dua shot penutur, dan akhirnya menampilkan close‑up pemain keempat. Urutan shot menunjukkan sejenis pola sebab akibat psikologis. Dengan kata lain, pemecahan shot dibenarkan berdasarkan kebutuhan dramatik bukan kebutuhan harfiah. Scene dapat diambil hanya dalam satu shot saja, dengan long shot. Jenis aturan ini dikenal sebagai master shot atau sequence shot. Classical cutting lebih bernuansa dan lebih berani, serta memecah kesatuan ruang, menganalisis komponennya, dan memusatkan perhatian kita kembali pada serangkaian detail. Adegannya bersifat lebih emosional daripada harafiah.
Selama masa keemasan sistem Amerika‑kurang lebih 1930‑an dan 1940‑an sutadara sering terpaksa melakukan teknik syuting dengan master shot. Metode ini melibatkan shooting seluruh adegan dalam long shot tanpa melakukan cut. Pengambilan ini memuat seluruh variabel dramatik dan oleh karenanya berperan sebagai master shot untuk adegan tersebut. Kemudian adegan diulangi beberapa kali, dengan komposisi medium shot dan close up. Ketika semua footage ini digabungkan bersama, editor mempunyai beberapa pilihan dalam menyusun kontinuitas cerita. Biasanya sutradara melakukan first cut yaitu, urutan shot yang menunjukkan interpretasi sutradara mengenai material. Selain itu sutradara, biasanya mempunyai hak untuk final cut.
Master shot masih digunakan oleh banyak sutradara. Tanpa sebuah master, editor sering mengeluh tentang footage yang tidak cukup, bahwa shot yang tersedia kurang bagus. Pada adegan pertempuran yang kompleks, kebanyakan sutradara cenderung melibatkan banyak cover shot‑yaitu, shot biasa yang dapat digunakan untuk menyusun ritme suatu rangkaian kejadian jika shot lainnya tidak bisa meng‑cut. Di film Birth of Nation, Griffith menggunakan banyak kamera untuk memotret berbagai adegan pertempuran, suatu teknik yang juga digunakan oleh Kurosawa di beberapa adegan dalam The Seven Samurai.
Griffith dan pembuat film klasik lainnya membuat sejumlah konvensi editing yang mereka pikir akan membuat cutting menjadi "tidak terlihat" (invisible), atau setidaknya tidak akan menarik perhatian. Salah satu teknik ini adalah eyeline match. Kita melihat karakter A melihat ke arah frame kiri. Dicut ke shot dari sudut pandang A yang menampilkan karakter B.
Classical cutting lainnya adalah matching action. Karakter sedang duduk namun beranjak bangun. Cut ke shot lainnya yang menampilkan karakter A mengakhiri adegan bangun dari duduknya dan kemudian bergerak pergi. Maksudnya adalah untuk menjaga adegannya.
Apa yang dinamakan 180° rule masih diobservasi oleh pembuat film, walaupun tidak ada yang bersifat sakral. (Misalnya, John Ford senang menentang 180° rule. Dia senang menentang hampir semua aturan). Kaidah ini melibatkan mise en scene dan juga editing. Tujuannya adalah untuk menstabilkan ruang area permainan sehingga penonton tidak bingung atau disorientasi. Suatu garis "aksis tindakan" imajiner digambar melalui pertengahan scene, dilihat dari bird's eye angle. Karakter A berada di kiri, karakter B berada di kanan. Jika sutradara menginginkan 2 shot, dia harus menggunakan kamera 1. Jika kemudian kita berpindah ke close up karakter A (kamera 2), kamera harus berada di sisi yang sama dengan garis 180° untuk mempertahankan latar belakang yang sama. Secara serupa, close up karakter B (kamera 3) akan di-shot di sisi aksis tindakan yang sama.
Pada sequence dialog, jika karakter A berada di kiri dan karakter B di kanan pada shot pertama, mereka harus tetap seperti itu pada angle berlawanan yang diambil dari bahu karakter B. Biasanya angle sebaliknya tidak benar‑benar berlawanan 180°, tapi kita sepakat untuk menganggapnya demikian.
Bahkan pada saat ini, pembuat film jarang menempatkan kamera di belakang garis aksis imajiner, kecuali mereka sengaja membingungkan penonton. Selama scene perkelahian atau action lainnya pembuat film sering menginginkan penonton merasa terancam, disorientasi, gelisah. Hal ini bisa diperoleh dengan menentang 180° rule.
Banyak film Griffith yang diakhiri dengan sequence pengejaran dan penyelamatan di detik‑detik akhir. Kebanyakan sequence akhir itu memuat parallel editing pergantian satu scene ke scene lainnya di tempat yang berbeda). Dengan cross‑cutting mundur dan maju antara dua (atau tiga atau empat) scene. Dalam menjajarkan (jukstaposisi) shot dari scene‑scene yang terpisah ini, dia berhasil memperkuat ketegangannya dengan mengurangi durasi shot saat sequence mencapai klimaksnya. Sequence itu sendiri berlangsung selarna 20 menit dari waktu film, namun efek psikologi cross‑cutting (rata-rata lama setiap shot 5 detik) menggambarkan kecepatan dan ketegangan. Secara umum, semakin besar jumlah cut di dalam scene, semakin besar sensasi kecepatannya. Untuk menghindari risiko rasa bosan selama sequence ini, Griffith merubah susunannya beberapa kali. Ada extreme long shot, long shot, medium shot dan close up, variasi sudut, kontras pencahayaan, bahkan kamera yang bergerak (kamera ditaruh di atas truk).
Kebanyakan film menyingkatkan waktu. Hanya ada sedikit film yang berusaha membuat waktu film sesuai dengan waktu riil : Cleo From Five to Seven karya Agnes Varda dan High Noon karya Zinnemann mungkin merupakan contoh yang paling terkenal. Bahkan film‑film ini menipu dengan menyingkat waktu pada pembukaan dan mengembangkan waktu pada saat klimaks.
Pada tingkat mekanis, waktu film ditentukan oleh panjang fisik filmstrip yang memuat shot. Panjang waktu ini biasanya ditentukan oleh kompleksitas subyek gambar. Seorang ahli teori film masa awal Raymond Spottiswoode, mengatakan bahwa cut harus dilakukan pada puncak "kurva isi cerita" Yaitu, masa di saat penonton telah mampu memahami sebagian besar informasi film. Cutting sesudah puncak kurva isi cerita menghasilkan kejenuhan dan sensasi waktu yang membosankan. Cutting sebelum puncak tidak memberikan waktu bagi penonton untuk memahami aksi visual. Gambar dengan mise en scene yang kompleks membutuhkan lebih banyak waktu untuk dipahami dibanding yang sederhana.
Namun perlakuan waktu yang sensitif dalam editing sebagian besar bersifat bertentangan dengan aturan mekanis. Kebanyakan sutradara hebat telah mengedit filmnya sendiri atau setidaknya berkolaborasi dekat dengan editornya, karena begitu pentingnya seni dalam keberhasilan pembuatan film. Hasil editing terbaik ditentukan mood dan juga subyeknya. Griffith, misalnya, biasanya mengedit scene percintaan dalam long lyrical takes, dengan sangat sedikit penataan. Scene pengejaran dan pertempurannya terdiri dari shot‑shot singkat yang digabung bersama. Secara paradoks, scene percintaan biasanya memadatkan waktu yang sebenarnya, sedangkan sequence yang dicut secara cepat mengulur waktu.
“Kebijaksanaan” adalah prinsip editing lainnya yang sulit untuk digeneralisasi karena sangat bergantung pada konteksnya, baik di dalam kehidupan riil atau selama menonton film. Seperti kebijaksanaan personal, kebijaksanaan directorial adalah masalah pengendalian, cita rasa dan penghargaan terhadap intelegensia lainnya. Di berbagai serial drama TV, misalnya, karakter utama berkumpul bersama pada akhir cerita, pada saat mereka bersenang‑senang dalam suka ria menyelamati diri sendiri. Sequence ini agak memaksa.
Eksperimen Griffith yang paling radikal dalam editing ditemukan pada masterpiece-nya pada tahun 1916, Intolerance. Film ini adalah film fiksi pertama yang mengeksplorasi ide thematic montage. Baik film dan tekniknya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sutradara film pada tahun 1920‑an, terutama di Uni Soviet. Thematic montage menekankan asosiasi ide; mengabaikan kontinuitas waktu dan ruang.
Intolerance disatukan melalui tema kekejaman manusia terhadap manusia lain. Bukan hanya satu cerita yang diceritakan, Griffith menyatukan empat cerita. Satu cerita bertempat di Babylon kuno. Cerita kedua menguraikan penyaliban Yesus. Cerita ketiga mengenai pembantaian Huguenot oleh Royalist Katolik di Perancis pada abad ke‑16. Cerila terakhir bertempat di Amerika pada tahun 1916 dan menceritakan suatu perlawanan antara buruh dengan manajemen.
Keempat cerita terjalin secara paralel. Pada akhir film, Griffith menggambarkan pengajaran yang penuh ketegangan pada cerita pertama dan terakhir, pembantaian yang kejam pada cerita Perancis, dan klimaks yang lambat pada pembunuhan Jesus. Intolerance memuat beratus‑ratus shot, mensejajarkan gambar‑gambar yang terpisah oleh ribuan tahun dan ribuan mil. Seluruh periode waktu dan lokasi yang berbeda ini disatukan dengan tema sentral intoleransi. Kontinuitas tidak lagi bersifat fisik maupun psikologikal, namun konseptual yaitu, thematic.
intolerance tidak sukses secara komersial, namun pengaruhnya besar sekali. Pembuat film Rusia terpesona oleh film Griffith dan terhadap teori montage dalam film tersebut. Banyak sutradara besar yang telah memanfaatkan eksperimen Griffith dalam memperlakukan waktu secara subyektif pada The Pawnbroker, misalnya, Sidney Lumet mengeksploitasi seni editing untuk menghasilkan serangkaian paralel yang tidak terkait secara kronologis. Dia menggunakan sejenis editing subliminal, di mana beberapa shot dipertahankan di layar hanya untuk selama sepersekian detik. Karakter utama adalah pria Yahudi berusia paruh baya yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi dua puluh lima tahun sebelumnya; seluruh orang yang dikasihinya terbunuh di sana. Dia berusaha menekan ingatan mengenai pengalaman, ini, namun ingatan‑ingatan ini terus menerus muncul. Lumet menunjukkan proses psikologis ini dengan melakukan penyatuan beberapa frame selama suatu scene yang terjadi di masa sekarang. Suatu kejadian di masa sekarang memicu ingatan protagonis dengan sesuatu yang sama dengan kejadian di masa lalunya. Shot ingatan yang berkelebatan berlangsung lebih lama, sampai akhirnya sequence flash‑back menjadi dominan, dan masa sekarang terhenti sementara. Dengan beberapa pengecualian.
Pembuat film dapat menginterupsi (intercut) masa sekarang tidak hanya dengan shot mengenai masa lalu tapi juga masa yang akan datang. Pada film They Shoot Horses, Don't They? Karya Sydney Pollack, flash‑back pendek yang mentinjukkan scene ruang pengadilan menyelingi di sepanjang cerita masa sekarang. Flash‑back juga digunakan pada film Alain Resnais, La Guerre Est Finie dan film Joseph Losey, The Go‑Between. Setiap periode waktu film ditandai dengan huruf A, B, C, D, dan E. Pada film diatas, strukturnya dapat dipetakan sebagai berikut: E (masa sekarang), A (masa lalu terjauh), F, C, D, B, A, E, C, D, diakhiri dengan E. Penonton belajar secara bertahap untuk mengidentifikasikan setiap periode waktu melalui berbagai petunjuk kontinuitas.
Metode editing Griffith juga bersifat lebih ekonomis. Montage dan Tradisi Formalist Griffith adalah seniman praktis yang memperhatikan ide dan emosi yang saling bersambungan dalam cara yang paling efektif yang mungkin dilakukan. Pada tahun 1920-an pembuat film asal Soviet mengembangkan prinsip asosiasinya dan menyusun dasar thematic editing, atau montage, demikian mereka menyebutnya (dari bahasa Perancis, monter, memasang). V. I. Pudovkin menulis risalat teoretis penting yang mengenai apa yang dia sebut sebagai constructive editing. Sebagian besar teorinya adalah penjelasan mengenai praktik Griffith, namun berbeda dengan Amerika (yang sangat dia puji‑puji) pada beberapa hal. Penggunaan close up oleh Griffith, tegas Pudovkin, terlalu terbatas. Close-up hanya sebagai klarifikasi long shot. yang memuat sebagian besar makna. Efek close up hanyalah suatu interupsi, tidak memiliki makna yang dimuatnya sendiri. Pudovkin bersikeras bahwa setiap shot harus membuat satu poin baru. Melalui penjajaran shot, dapat dibentuk makna baru. Maka makna sebenarnya berada dalam penjajaran tersebut, bukan dalam satu shot tunggal.
Pembuat film di Uni Soviet sangat dipengaruh oleh teori psikologis Pavlov, yang menjadi ide dasar untuk eksperimen editing Lev Kuleshov, guru Pudovkin. Kuleshov percaya bahwa ide‑ide dalam sinema dibuat dengan menghubungkan detil-detil yang terpisah‑pisah secara bersamaan untuk menghasilkan kesatuan aksi. Detil ini dapat benar‑benar tidak berhubungan dengan hidup sebenarnya. Misalnya, dia menggabungkan shot Red Square di Moskow dengan Gedung Putih di Amerika, close up pada dua pria yang menaiki tangga dengan close up lagi pada dua tangan yang saling menyatu, diproyeksikan sebagai suatu scene yang berkelanjutan, shot yang dikembangkan tersebut menunjukkan bahwa kedua pria berada di tempat yang sama di waktu yang sama.
Kuleshov melakukan eksperimen lainnya yang terkenal yang menjadi dasar teoretis dengan penggunaan aktor non profesional di dalam film. Kuleshov dan banyak koleganya percaya bahwa kemampuan akting tradisional tidaklah diperlukan di dalam sinema. Dia membuat shot close up seorang aktor dengan ekspresi netral. Dia menyejajarkannya dengan close-up semangkok sup. Kemudian dia menggabungkan close up aktor tersebut dengan shot peti jenazah yang berisi jenazah wanita. Terakhir, dia menghubungkan ekspresi aktor dengan shot gadis kecil yang sedang bermain. Ketika kombinasi ini diperlihatkan pada penonton, mereka mengatakan bahwa ekspresi aktor menunjukkan kelaparan kesedihan yang mendalam dan kebanggaan seorang ayah. Pada setiap kasus, makna disampaiakan dengan menyejajarkan dua shot, bukan secara tunggal. Aktor dapat dijadikan sebagai bahan mentah, sebagai objek yang disejajarkan dengan objek lain.
Makna yang dihasilkan bukan berasal dari akting aktor, namun berasal dari asosiasi yang dihasilkan oleh penjajaran. Bagi Kuleshov dan Pudovkin, suatu sequence bukan difilmkan, tapi dibangun. Mereka lebih banyak menggunakan close up dibandingkan dengan Griffith, Pudovkin membangun scene dari banyak shot yang terpisah, semuanya disejajarkan untuk memberikan efek yang menyatu. Serangkaian close-up (sering kali objek) memberikan asosiasi yang dibutuhkan penonton untuk menghubungkan makna secara bersama. Penjajaran ini dapat menunjukkan keadaan emosional dan psikologis, bahkan gagasan abstrak.
Beberapa kritikus mengeluh bahwa teknik ini menurunkan sensasi realisme pada scene karena kontinuitas waktu dan ruang sebenarnya benar‑benar direstrukturisasi. Namun Pudovkin menyatakan bahwa realisme yang ditangkap dalam long shot terlalu mendekati realitas. Bersifat lebih teatrikal daripada sinematik. Film harus menangkap esensi, bukan sekadar permukaan realitas, yang mengandung irelevansi. Hanya dengan menjajarkan close up objek, tekstur, simbol dan detil tertentu lainnya, pembuat film dapat menyampaikan secara ekspresif gagasan-gagasan tersebut.
Seperti ahli filosofi Yunani kuno, Heraclitus, Eisenstein percaya bahwa esensi eksistensi terus menerus berubah. Dia percaya bahwa fluktuasi abadi alam berdasarkan dialektika hasil konflik dan sintesis yang berlawanan. Apa yang tampak tetap atau menyatu di alam sebenarnya bersifat sementara, karena seluruh fenomena berada dalam keadaan akan (states of becoming). Eisenstein percaya bahwa setiap lawan mengandung bibit destruksi diri sendiri, dan konflik yang berlawanan ini adalah ibu dari pergerakan dan perubahan.
Eisenstein memberikan penekanan khusus pada seni editing. Seperti Kuleshov dan Pudovkin, dia percaya bahwa montage adalah dasar seni film. Dia setuju dengan mereka bahwa setiap shot sequence seharusnya tidak lengkap, bersifat penambah daripada mengandung makna sendiri. Walaupun demikian, Eisenstein mengkritik konsep hubungan shot‑shot karena bersifat mekanis dan inorganik. Dia percaya bahwa editing seharusnya bersifat dialektika. Konflik pada dua shot (tesis dan antitesis) menghasilkan suatu ide baru (sintesis). Sehingga, dalam istilah film, konflik antara shot A dan shot B bukanlah AB (Kuleshov dan Pudovkin), melainkan suatu faktor yang baru secara kualitatif menjadi C (Eisenstein). Transisi antara shot tidak boleh mengalir, seperti yang disarankan oleh Pudovkin, namun tajam, menyentak, bahkan mungkin kasar. Bagi Eisenstein, editing menghasilkan benturan yang kasar, bukannya hubungan yang halus. Dia mengatakan bahwa transisi yang halus menghilangkan kesempatan.
Editing bagi Eisenstein bukanlah proses mistik. Dia menyamakannya dengan pertumbuhan sel‑sel organik. Jika setiap shot menggambarkan suatu sel yang berkembang, cut sinematik seperti memecah sel-sel tersebut menjadi dua. Editing selesai pada titik ketika shot tersebut "meledak", yaitu ketika ketegangannya telah mencapai pengembangan maksimal. Irama editing dalam film harus seperti ledakan mesin, kata Eisenstein. Sebagai master irama dinamik, film‑filmnya hampir selalu memikat, dalam hal ini shot terhadap volume, durasi, bentuk, disain, dan intesitas cahaya yang berbeda‑beda bertabrakan satu sama lain seperti objek‑objek yang berada di dalam suatu sungai deras yang mengalir menuju satu tujuan.
Perbedaan antara Pudovkin dan Eisensten mungkin terlihat bersifat akademis. Namun pada praktik riilnya, pendekatan keduanya menghasilkan hasil yang sangat berbeda. Film‑film Pudovkin pada dasarnya berbentuk klasik. Shot‑shotnya cenderung bersifat aditif dan ditujukan pada efek emosional yang menyeluruh, yang dituntun oleh ceritanya. Sedangkan film‑film Eisenstein, gambar‑gambar yang menyentak pada dasarnya menunjukkan serangkaian serangan dan tangkisan intelektual, ditujukan pada argumen ideologis. Susunan narasi sutradara juga berbeda. Cerita Pudovkin tidak banyak berbeda dengan jenis cerita yang digunakan Griffith. Sedangkan cerita Eisenstein, tersusun lebih lepas, serial dan episodik.
Bila Pudovkin ingin mengekspresikan emosi, dia menyampaikannya dalam gambar obyektif dan di tempat kejadian sebenarnya, contohnya serangkaian shot yang menunjukkan detil sebuah gerobak yang terperosok ke dalam lumpur: close up pada roda gerobak, lumpur itu sendiri, tangan, roda gerobak, wajah menegang, otot‑otot tangan menarik roda gerobak dan seterusnya.
Eisenstein menginginkan filmnya sefleksible buku, terutama membuat perbandingan figuratif tanpa mempertimbangkan waktu dan tempat. Film seharusnya memuat gambar‑gambar yang terkait secara tematik atau metaforik, menurut Eisenstein, tanpa mempertimbangkan apakah gambar tersebut dapat ditemukan di tempat kejadian sebenarnya atau tidak.
Masalah utama dengan jenis editing ini adalah kecenderungannya untuk terlihat jelas atau sangat tidak jelas. Eisenstein tidak melihat adanya kesulitan untuk mengatasi perbedaan ruang dan waktu antara film dan literatur. Namun kedua medium menggunakan metafora dengan cara yang berbeda. Di film, perlengkapan figuratif yang seperti ini lebih sulit lagi. Editing dapat menghasilkan sejumlah perbandingan kiasan, namun efeknya tidak sama seperti perbandingan kiasan di dalam literatur. Teori Eisenstein mengenai montage yang berbenturan telah dicoba terutama pada sinema avant‑garde (pelopor) dan dalam komersil TV. Sebagian pembuat film fiksi menganggap teori tersebut terlalu mengganggu dan sulit untuk ditangani.
Andre Bazin dan Tradisi Realisme
Andre Bazin bukanlah seorang pembuat film, namun hanya seorang kritikus dan teoretikus. Selama bertahun‑tahun, dia adalah editor di jurnal film Perancis yang berpengaruh, Cahiers du Cinema, di mana dia menyatakan pendapatnya mengenai estestika film yang sangat berlawan dengan Pudovkin dan Eisenstein. Walaupun dia memberikan penekanan terhadap sifat realistik sinema, dia memuji film‑film yang mengeksplotasi editing secara efektif. Melalui tulisannya, Bazin mempertahankan montage hanyalah salah satu dari berbagai teknik yang dapat digunakan oleh sutradara dalam membuat film. Selain itu, dia percaya bahwa di berbagai kasus, editing malah dapat menghancurkan efektivitas suatu scene.
Estetika realis Bazin adalah didasarkan pada kepercayaannya bahwa fotografi, televisi, dan sinema tidak seperti seni tradisional, menghasilkan gambar realitas secara otomatis, dengan interferensi manusia yang minimal. Obyektivitas teknologi menghubungkan gambar bergerak dengan dunia fisik yang tampak. Seorang novelis atau pelukis harus menggambarkan realitas dengan menampilkannya kembali dalam medium kertas atau kanvas melalui bahasa dan pigmen warna. Di sisi lain, pembuat film menganggap kamera pada dasarnya merupakan perekam obyektif tentang apa yang benar‑benar tampak. Bazin merasa, tidak ada seni lain yang dapat komprehensif dalam menggambarkan dunia fisik. Tidak ada seni lain yang dapat realistik, in the most elementary sense of that word.
Estetika Bazin mempunyai bias moral dan teknologi. Bazin dipengaruhi pergerakan filosofis yang disebut Personalisme. Dia menekankan sifat individualistik dan pluralistic kebenaran. Seperti kebanyakan Personalist lainnya yang menyetujui bahwa terdapat banyak kebenaran, Bazin merasa bahwa terdapat banyak cara untuk menggambarkan realita. Dia percaya bahwa esensi realitas terletak pada ambiguitasnya. Realitas bahkan dapat diinterpretasikan dalam cara yang berlawanan dan sama‑sama valid, tergantung pada sensitivitas senimannya. Untuk menangkap ambiguitas ini, pembuat film harus sederhana dan tidak menonjolkan diri. Seniman film yang paling dikagumi Bazin adalah Flaherty, Renoir, dan De Sica, mereka adalah orang‑orang yang filmnya mencerminkan sensasi menakjubkan.
Bazin mempercayai bahwa penyimpangan yang terjadi dalam menggunakan teknik formalis terutama editing tematis (thematic montage) seringkali melanggar kompleksitas realita. Montage melapiskan ideologi simplistik di atas variabilitas hidup sebenarnya yang tak terbatas. Dia merasa, formalist cenderung menjadi terlalu egosentrik dan manipulatif. Formalis memaksakan sudut padang mereka yang sempit terhadap realitas, bukannya membiarkan realitas hadir dalam kompleksitasnya yang mengagumkan. Dia adalah salah satu orang yang pertama yang menyatakan bahwa pernbuat film hebat seperti Chaplin, Mizoguchi, dan Murnau memelihara ambiguitas realita dengan meminimalkan editing.
Bazin bahkan melihat classical cutting sebagai pengganggu. Classical cutting memecah satu kesatuan scene menjadi sejumlah shot yang secara implisit sama dengan proses mental. Namun tekniknya mendorong kita untuk mengikuti urutan shot tanpa menyadari sifatnya yang berubah‑ubah. "Editor yang men‑cut bagi kita, berperan sebagai kita untuk membuat pilihan yang akan kita buat dalam hidup sebenarnya," kata Bazin. "Tanpa berpikir, kita menerima analisisnya karena sesuai dengan hukum atensi, tapi hak‑hak kita dihilangkan." Dia percaya bahwa classical cutting membuat suatu kejadian menjadi subyektif karena setiap shot menggambarkan apa yang pembuat film pikir penting, bukannya apa yang kita pikir penting.
Salah satu sutradara favorit Bazin, Willian Wyler yang berasal dari Amerika, mengurangi editing di berbagai filmnya, menggantinya dengan fotografi deep focus dan lenghty takes (shot panjang). "Kejernihannya yang sempurna sangat menambah keyakinan penonton dan menyediakan penonton cara untuk mengamati, memilih dan membentuk opini," kata Bazin mengenai gaya cutting Wyler yang cermat. Pada film‑film seperti The Little Foxes, The Best Years of Our Lives, dan Ae Heiress, Wyler berhasil mencapai netralitas dan transparansi yang tidak ada bandingannya. Akan sangat naif mengelirukan netralitas ini dengan ketiadaan seni, Bazin bersikeras, karena sernua usaha Wyler cenderung menyembunyikannya.
Tidak seperti beberapa pengikutnya, Bazin tidak mendukung teori sederhana realisme. Dia benar‑benar mengetahui bahwa sinema, seperti semua seni, melibatkan selektivitas, pengaturan dan interpretasi. Pendek kata, sejumlah “distorsi”. Dia juga menyadari bahwa nilai pembuat film pasti akan mempengaruhi cara penerimaan realitas. Diharapkan distorsi tidak hanya tidak dapat dihindari tapi pada sebagian besar film. Bagi Bazin, film terbaik adalah film yang mempertahankan pribadi seniman dalam keseimbangan yang lembut dengan sifat objektif medium. Maka aspek‑aspek realitas tertentu harus dikorbankan untuk kepentingan koherens artistik, namun Bazin merasa bawah abstraksi dan artifisial harus dijaga agar tetap minimal. Material harus dibiarkan berbicara. Realisme Bazinian tidak hanya obyektivitas apabila hal tersebut memang ada. Dia percaya bahwa realitas harus ditambah sedikit pada film, sehingga sutradara harus menampakkan implikasi yang puitis pada orang biasa, kejadian dan tempat. Dengan melakukan puitisasi terhadap kejadian biasa, sinema bukan merupakan perekam dunia fisik yang sangat obyektif maupun abstraksi simbolik dunia fisik. Sinema menempati posisi tengah yang unik antara kedudukan kehidupan yang mentah dan dunia seni tradisional yang dibangun kembali secara artifisial.
Bazin menulis banyak artikel secara terang‑terangan yang mengkritik seni editing, atau setidaknya menunjukkan keterbatasan yang ada pada editing. Jika esensi suatu adegan didasarkan pada ide‑ide parsial, separasi dan isolasi, montage dapat menjadi teknik yang efektif untuk menyampaikan ide‑ide ini. Namun jika esensi adegan membutuhkan keberadaan dua elemen atau lebih yang saling berhubungan secara bersamaan, pembuat film harus memelihara kontinuitas waktu dan ruang yang sebenarnya. Pembuat film dapat melakukan hal ini dengan menyertakan semua variabel dramatik di dalam frame misalnya mengeksploitasi long shot, lenghty take, deep focus dan widescreen. Pembuat film juga dapat memelihara waktu dan ruang yang sebenarnya dengan panning, craning, tilting, atau tracking daripada melakukan cutting menjadi shot‑shot tunggal. African Queen karya John Huston menampakkan shot yang menggambarkan prinsip Bazin. Dalam usaha untuk mengalirkan perahu mereka dari sungai ke danau yang besar, kedua protagonis (Humphrey Bogart dan Katharine Hepburn) menyamping di anak sungai. Anak sungai mengalir ke arah aliran yang lebih kecil dan akhirnya berhenti di alang‑alang yang menjerat dan lumpur, dimana perahu yang rusak itu terperosok. Pelancong yang kelelahan memasrahkan dirinya pada kematian yang lambat akibat alang-alang yang membelit, dan akhimya jatuh tertidur di lantai perahu. Kemudian kamera hergerak ke atas, melewati alang‑alang, dan hanya berjarak beberapa yard dari danau. Ironi yang pahit disampaikan dengan pergerakan kamera secara terus menerus, yang memelihara kedekatan fisik perahu, alang‑alang dan danau. Jika Huston harus meng‑cut menjadi tiga shot yang terpisah, kita tidak akan memahami keterkaitan ruang‑ruang ini, sehingga ironinya akan dikorbankan.
Bazin mengatakan bahwa dalam evolusi film, setiap inovasi teknis mendorong medium mendekati ideal realistik, seperti penemuan teknologi suara pada akhir 1920‑an, warna dan fotografi deep‑focus pada tahun 1930‑an dan 1940‑an serta widescreen pada tahun 1950‑an. Pendek kata, teknologi biasanya mengubah teknik, bukan kritikus dan teoritikus. Dengan hadirnya suara, film harus diedit secara lebih realistis meski sutradara menginginkannya atau tidak. Mikrofon diletakkan di set, dan suara harus direkam sambil adegan diambil. Biasanya mikrofon diletakkan tersembunyi. Sehingga, di film‑film bersuara pada masa awalnya, tidak hanya membatasi kamera, namun juga pernainnya. Jika mereka bergerak terlalu jauh dari mikrofon, dialognya tidak dapat direkam dengan baik.
Efek editing pada masa awal “film bersuara” ini sangatlah buruk. Kritikus dan pembuat film merasa putus asa. Hari‑hari perekaman drama panggung tampaknya telah kembali lagi. Sampai pada suatu saat, masalah‑masalah tersebut terpecahkan oleh penemuan “blimp”, sebuah rumah kamera kedap suara (soundproof camera housing) yang memungkinkan kamera. bergerak dengan cukup ringan, dan dengan praktik dubbing suara sesudah syuting selesai dapat dilakukan.
Namun suara juga memberikan manfaat tertentu. Dialog yang diucapkan dan efek suara memperbesar sensasi realitas. Pemain tidak perlu lagi berlebihan secara visual sebagai kompensasi tidak adanya suara. Film‑film bersuara memungkinkan pembuat film untuk bercerita secara lebih efektif tanpa diganggu oleh title yang menyelingi visual film‑film bisu. Adegan‑adegan yang membosankan juga dapat dibuang. Beberapa baris dialog dapat dengan mudah menyampaikan apa yang perlu diketahui oleh penonton tentang dasar cerita.
Kualitas estetika fotografi deep focus membolehkan komposisi kedalaman (composition in depth): Seluruh adegan dapat dishot dalam satu kali pengaturan, tanpa mengorbankan detil, untuk setiap jarak, tampak sama jernih di layar. Deep focus cenderung menjadi teknik yang paling efektif apabila mengikuti kesatuan waktu‑ruang sebenarnya. Untuk alasan ini, teknik tersebut terkadang dianggap lebih bersifat teatrikal daripada sinematik, karena efek diperoleh semata‑mata melalui mise en scene yang disatukan secara ruang bukannya dengan penjajaran shot yang terbagi‑bagi.
Pada tahun 1945, segera sesudah Perang Dunia ke-2, suatu pergerakan disebut neorealisme pecah, muncul di Italia dan secara bertahap memengaruhi sutradara di seluruh dunia. Dipelopori oleh Roberto Rosselini dan Vittorio De Sica, dua pembuat film favorit Bazin. Neorealisme mengurangi penekanan terhadap editing. Para sutradara lebih menyukai fotografi deep focus, long shot, lenghty takes dan pembatasan yang cermat terhadap penggunaan close up. “Paisan” karya Rosselini menampilkan sequence shot yang sangat dikagumi oleh kritikus realis. Seorang tentara Amerika berbicara pada seorang wanita muda Sicilian mengenai keluarganya, kehidupannya, dan mimpinya. Kedua karakter tidak saling memahami bahasa satu. sama lain, namun walaupun demikian, mereka berusaha untuk berkomunikasi. Dengan menolak penyingkatan waktu menggunakan shot yang terpisah, Rosselini menekankan jeda yang canggung dan keraguan‑raguan di antara kedua karakter. Dengan memelihara waktu yang sebenarnya, lenghty take memaksa kita untuk mengalami, peningkatan, pengenduran, ketegangan yang terjadi di antara mereka. Interupsi pada waktu menggunakan cut akan menghilangkan ketegangan ini.
Saat ditanya mengapa dia mengurangi penekanan terhadap editing, Rosselini menjawab: "Semuanya sudah ada di situ, kenapa harus dimanipulasi?" Pernyataan ini mungkin sama seperti faham yang dianut Bazin. Dia sangat mengagumi keterbukaan Rosselini terhadap interpretasi multipel, penolakannya terhadap pengurangan realitas dengan menjadikannya sebagai tesis prioritas. "Definisi neorealisme menolak analisis, baik politis, moal, psikologis, logis atau sosial, terhadap karakter dan tindakannya," kata Rosselini. "Neorealisme melihat realitas, sebagai suatu kesatuan, bukannya tidak dapat mengerti, tentunya, namun sebagai suatu hal yang mutlak."
Seperti banyak inovasi teknologi, widescreen menimbulkan protes dari banyak kritikus dan sutradara. Bentuk layar yang baru akan menghancurkan close up, yang banyak ditakutkan orang, terutama pada wajah manusia. Ada pihak yang juga mengeluhkan bahwa terlalu banyak ruang yang harus diisi, bahkan dalam long shot. Penonton tidak akan dapat memahami seluruh adegan, karena mereka tidak akan tahu harus melihat ke arah mana. Ada yang mengatakan bahwa widescreen hanya cocok untuk komposisi horizontal, bermanfaat untuk film‑film epik, namun terlalu luas untuk lokasi di dalam ruangan dan subyek‑subyek kecil. Para formalist mengeluhkan bahwa editing harus lebih diminimalis lagi, karena tidak lagi perlu untuk melakukan cut apapun jika semuanya sudah ada, tersusun dalam suatu seri horizontal yang panjang.
Yang menarik, beberapa anak didik Bazin bertanggung jawab atas kembalinya teknik‑teknik editing yang lebih cemerlang di beberapa dekade kemudian. Di sepanjang tahun 1950‑an, Godard, Truffaut, dan Chabrol menulis kritikan untuk Cahiers du Cinema. Pada akhir dekade, giliran mereka membuat film mereka sendiri. Nouvelle vague atau New Wave (Gelombang Baru), sebagaimana pergerakan ini disebut dalam Bahasa Inggris, ecletic dalam teori dan praktiknya. Mereka percaya bahwa manfaat teknik bergantung pada subyeknya. Bahkan, New Wave‑lah yang mempopulerkan gagasan apa yang diceritakan film pasti terkait dengan bagaimana cara menceritakannya. Selain itu, gaya editing seharusnya tidak ditentukan berdasarkan fesyen, keterbatasan teknologi, atau pernyataan dogmatik, namun oleh esensi permasalahannya sendiri.
Alfred Hitchcock secara luas dianggap sebagai editor terbaik di sepanjang sejarah sinema. Pre-cut script‑nya sangat legendaris. Tidak ada sutradara yang bekerja dengan perencanaan sedemikian detil. Dia sering membuat gambaran frame shot‑nya (suatu teknik yang disebut storyboarding), terutama untuk sequence‑sequence yang melibatkan editing yang kompleks. Beberapa skripnya berisi sketsa sebanyak 600 setup. Setiap shot diperhitung secara tepat untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang tersisa. "Lebih baik saya menulis semuanya, seberapa kecil dan pendek potongan film tersebut‑semuanya harus ditulis dengan cara yang sama seperti komposer menulis titik‑titik hitam kecil itu, yang darinya kita dapat mendengar suara yang indah" jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar