Kamis, 12 September 2013

FREELANCE atau IN-HOUSE ?

"Hidup adalah pilihan. Bidang produksi film pun tak luput dari jebakan pilihan ini. Salah  satu  pilihan yang harus kita ambil adalah ketika harus memutuskan apakah akan menjadi pekerja film yang in house atau freelance."


Hidup adalah pilihan. Apa pun konteksnya, tetap kita harus memilih  satu  di antara pilihan yang tersedia. Besar atau kecil risiko yang bakal   mengikuti, kita tetap harus memilih. Tidak bisa tidak. Ini bukan   masalah hitam atau putih, sebab abu-abu pun adalah pilihan.

Bidang produksi film pun tak luput dari jebakan pilihan ini. Salah  satu  pilihan yang harus kita ambil adalah ketika harus memutuskan apakah   akan menjadi pekerja film yang in house atau freelance.

"Ini  masalah comfort level," tutur Dede Imam. Pada kenyataannya memang  benar  apa yang dikatakan executive producer 25 Frame ini. Ada pekerja  film  yang merasa nyaman bekerja in house ada juga yang merasa comfort  sebagai  freelance. Rasa nyaman itu terlalu rumit untuk didefinisikan  tapi ada  baiknya bila kita bedah dahulu hal apa saja yang membuat  mereka merasa  nyaman dengan pilihannya. Dari pembedahan ini, mungkin  akan kita temukan  apakah definisi nyaman yang mereka anut.

Di zaman industri  seperti ini, di mana sebuah hirarki organisasi  perusahaan adalah  kendaraan yang dipercaya dapat menuju sukses, maka  kata "tidak" menjadi  sesuatu yang bernilai mahal. Apakah kau mampu  berkata tidak saat  atasanmu memberi perintah? Kau tentu tahu apa  konsekuensi bila kau nekat  mengucapkan lima huruf itu.

Tapi bagi pekerja freelance, tak ada  yang membelenggu mulut mereka  untuk mengatakannya. "Sebagai freelance  kita bebas untuk menolak job,"  ungkap Arif Hidayat, seorang art director  lepas.

Kita pun bebas untuk memilih dengan siapa kita bekerja.  Hari ini di PH  ini, besok lusa di PH itu. Minggu depan di PH lain lagi.  Dengan begitu,  semakin banyak lah orang-orang yang kita kenal. Semakin  luas pula  cakrawala wawasan kita. "Knowledge-nya juga lebih luas, loe  bisa ke  layar lebar, iklan, atau dokumenter. Ketemu orang-orang baru,  traveling  pula. Kalau in house cenderungnya gitu-gitu terus," aku  Zulviena  Gemaini, tine producer yang in house di Hoteve.

 Doddy Widodo         "Freelance lebih banyak duitnya, hahahaha...," ungkap  Doddy Widodo,  seorang director freelance. Ada jokes yang menyatakan  bahwa dalam satu  bulan seorang freelancer mendapat gaji 40 hari kerja.  Menurut Dede Iman,  ini diraih tatkala seorang freelancer menyelesaikan  shooting sekitar  jam dua malam sehingga mendapat bayaran satu setengah  hari kerja,  kemudian siangnya sudah kerja lagi di tempat lain yang  kemungkinan juga  akan mendapat bayaran satu setengah hari kerja lagi.

Bahkan  seorang freelancer memiliki kebebasan untuk mematok harga  keringatnya.  Dengan bebas dia bisa berkata, "Bulan depan harga gue udah  segini ya".  Tapi menurut Dede, tetap saja yang menjadi pertimbangan  adalah kualitas  kerjanya. "Apa ada yang mau bayar elo segitu kalau  kualitas kerja tidak  sepadan dengan harga yang elo patok?" ujar pria  yang sudah tujuh tahun  berkecimpung di dunia produksi film ini.

Walau mengaku income  yang mereka terima tidak sebesari para freelancer,  pekerja-pekerja  inhouse merasa tenang dengan statusnya.-"Walau job  sedikit tetap dapat  gaji," ujar Zulviena yang akrab disapa Viena.

 Asep Cahyana         Demikian juga  dengan Asep Cahyana, Pimpinan Produksi  Demi Gisela Citra Sinema. Asep  begitu pria ini panggil, berpendapat  serupa dengan Viena. "Kalau  freelance, jika nggak produksi ya nggak  dapat masukan. Kita (in  house-red), ada nggak ada produksi gaji dapat,  bonus dapat," ujar pria  tinggi besar ini.

Istilahnya freelance mendapat lot income, in  house mendapat fix income.  Fix income inilah yang sempat menjadi  pertimbangan Doddy Widodo ketika  memilih untuk in house dalam beberapa  waktu. "Saya mau bangun rumah,  he..he..he," akunya.

Tidak jelas siapa atasannya dan siapa bawahannya, freelancer bertanggung   jawab pada dirinya sendiri. Nama baik menjadi modal utama dalam   mempertahankan karir. "Jangan sampai nama kita jelek, ntar gak dapet   callingan lagi," tegas Arif.

Oleh karena itu menjadi seorang  freelancer mereka menjadikan kerja  maksimal sebagai kuncinya. "Jangan  cuma jual omongan," tegas Arif.

Berdasarkan itulah sebagai art  director, Arif selalu harus membuktikan  kualitasnya dengan menyediakan  semua yang dibutuhkan tepat pada  waktunya, serta bisa men-deliver sesuai  jadwal yang dia janjikan kepada  sutradara.

Selain itu juga,  being professional adalah syarat lain untuk menjaga  nama baik mereka.  "Bukan hanya soal hasil kerja, tapi juga dalam hal  personality dan  attitude," tambah Rachel D.J. Hulu, seorang produser.

Tak heran  jika para freelancer yang sama dapat ditemui di tempat  berbeda dan  syuting yang berbeda di hari yang sama. "Orang-orang  freelance kalau  bagus ketahuan, biasanya kalau masih kerja sama saya  udah di-calling  orang lain. Tapi kalau gak bagus, ketahuan tuh, abis  shooting  nganggurnya lama, baru dapat calling-an lagi," jelas Asep.

Galibnya,  setiap orang tentu ingin karirnya menanjak, naik jabatan  istilah  umumnya. Begitu juga dengan para freelancer. Menurut Dede,  seorang  freelancer memiliki hak sebebas-bebasnya untuk mengklaim  dirinya dalam  jabatan apa pun. Misalnya, sekarang dia seorang asisten  kameramen, bulan  depan bisa saja dia menyatakan diri sebagai DOP  (director of  photography). "Masalahnya kan tinggal apa ada yang mau  percaya dan  memakai dia dalam posisi itu," ujar Dede yang sampai saat  ini belum  pernah merasakan menjadi freelance.

Hal inilah yang tidak  dimiliki oleh para pekerja in house. Alur yang  dimiliki oleh para  pekerja in house tidak sebebas yang dimiliki oleh  para freelancer, para  pekerja in house memiliki alur yang lebih teratur  dalam jenjang karir  mereka. Akan tetapi, tentunya hal ini sangat  tergantung pada seberapa  besar PH tempat mereka bekerja membuka  kesempatan baik jabatan bagi  mereka yang berprestasi.

Dalam sebuah teorinya, Abraham Maslow, seorang psikolog kondang yang   terkenal dengan teori hierarchy of needs -nya pernah menyatakan bahwa   uang bukanlah satu-satunya hal yang dicari dalam sebuah pekerjaan. Ada   empat hal lainnya yang juga dibutuhkan manusia, salah satunya jaminan   keselamatan dalam bekerja. Inilah yang kadang diresahkan oleh para   freelancer.

"Sampai saat ini belum ada yang namanya perjanjian  kerja atau tunjangan  atau asuransi bagi para pekerja freelance. Sebagai  freelancer bentuk  perjanjian kerja sama atau tunjangan masih dalam  bentuk ‘lisan', yang  mudah diingkari," keluh Rachel D.J.

Khawatir  tentang kondisi ini, para freelancer berkumpul untuk  menyatukan visi  untuk memperjuangkan jaminan keselamatan kerja dan  regenerasi para  pekerja film seperti mereka. Mereka kini memiliki  wadah, namanya Forum  Pekerja Film yang berada di bawah naungan KFT-ASI  (Karyawan Film Et  Televisi-Asosiasi Sineas Indonesia).

Beberapa production house  mulai peduli dengan para freelancer yang  kerap dipakainya. Peraturan  umum yang berlaku antara PH dan freelancer  selama mereka dipekerjakan  oleh PH tersebut adalah dimana PH menanggung  keselamatan kerja  freelancer.

 Dewi T. Susilo         Dalam dunia pekerja film, gengsi bukanlah sesuatu yang  harus  dipermasalahkan secara serius. Tapi bukan berarti tidak boleh  untuk  diselorohkan bukan? Doddy pun berkelakar mengenai statusnya  sebagai  freelancer. “Ruginya kita gak berstatus bekerja. Jadi bahan  omongan  tetangga. Kalo in-house lebih terhormat, karena dia punya  kantor.” Kata  Doddy. Sementara kantor kita ya di hand phone,” timpal  Arief. Lain lagi  seloroh Dewi T. Susilo, seorang line producer  freelancer. “Aku gak  pernah punya meja, selalu menclak-menclok,”  katanya.

Memang,  dunia memang mesti seimbang. Freelance punya kelebihan  sekaligus  kekurangan, begitu pula in house. Dan para pekerja film telah  memilih  jalannya sesuai dengan kenyamanan yang mereka butuhkan.  Dua-duanya halal  kok!***

http://tvcomm-indonesia.blogspot.com/2011/03/freelance-atau-in-house.html

2 komentar:

  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin pekerja lepas, saya nemuin artikel keren nih yang ngebahas tentang cara cerdas mengatur uang bagi pekerja tipe tersebut. Cek di sini ya: Tips keuangan bagi pekerja lepas

    BalasHapus