"Hidup adalah pilihan. Bidang produksi film pun tak luput dari jebakan pilihan ini. Salah satu pilihan yang harus kita ambil adalah ketika harus memutuskan apakah akan menjadi pekerja film yang in house atau freelance."
Hidup adalah pilihan. Apa pun konteksnya, tetap kita harus memilih satu di antara pilihan yang tersedia. Besar atau kecil risiko yang bakal mengikuti, kita tetap harus memilih. Tidak bisa tidak. Ini bukan masalah hitam atau putih, sebab abu-abu pun adalah pilihan.
Bidang produksi film pun tak luput dari jebakan pilihan ini. Salah satu pilihan yang harus kita ambil adalah ketika harus memutuskan apakah akan menjadi pekerja film yang in house atau freelance.
"Ini masalah comfort level," tutur Dede Imam. Pada kenyataannya memang benar apa yang dikatakan executive producer 25 Frame ini. Ada pekerja film yang merasa nyaman bekerja in house ada juga yang merasa comfort sebagai freelance. Rasa nyaman itu terlalu rumit untuk didefinisikan tapi ada baiknya bila kita bedah dahulu hal apa saja yang membuat mereka merasa nyaman dengan pilihannya. Dari pembedahan ini, mungkin akan kita temukan apakah definisi nyaman yang mereka anut.
Di zaman industri seperti ini, di mana sebuah hirarki organisasi perusahaan adalah kendaraan yang dipercaya dapat menuju sukses, maka kata "tidak" menjadi sesuatu yang bernilai mahal. Apakah kau mampu berkata tidak saat atasanmu memberi perintah? Kau tentu tahu apa konsekuensi bila kau nekat mengucapkan lima huruf itu.
Tapi bagi pekerja freelance, tak ada yang membelenggu mulut mereka untuk mengatakannya. "Sebagai freelance kita bebas untuk menolak job," ungkap Arif Hidayat, seorang art director lepas.
Kita pun bebas untuk memilih dengan siapa kita bekerja. Hari ini di PH ini, besok lusa di PH itu. Minggu depan di PH lain lagi. Dengan begitu, semakin banyak lah orang-orang yang kita kenal. Semakin luas pula cakrawala wawasan kita. "Knowledge-nya juga lebih luas, loe bisa ke layar lebar, iklan, atau dokumenter. Ketemu orang-orang baru, traveling pula. Kalau in house cenderungnya gitu-gitu terus," aku Zulviena Gemaini, tine producer yang in house di Hoteve.
Doddy Widodo "Freelance lebih banyak duitnya, hahahaha...," ungkap Doddy Widodo, seorang director freelance. Ada jokes yang menyatakan bahwa dalam satu bulan seorang freelancer mendapat gaji 40 hari kerja. Menurut Dede Iman, ini diraih tatkala seorang freelancer menyelesaikan shooting sekitar jam dua malam sehingga mendapat bayaran satu setengah hari kerja, kemudian siangnya sudah kerja lagi di tempat lain yang kemungkinan juga akan mendapat bayaran satu setengah hari kerja lagi.
Bahkan seorang freelancer memiliki kebebasan untuk mematok harga keringatnya. Dengan bebas dia bisa berkata, "Bulan depan harga gue udah segini ya". Tapi menurut Dede, tetap saja yang menjadi pertimbangan adalah kualitas kerjanya. "Apa ada yang mau bayar elo segitu kalau kualitas kerja tidak sepadan dengan harga yang elo patok?" ujar pria yang sudah tujuh tahun berkecimpung di dunia produksi film ini.
Walau mengaku income yang mereka terima tidak sebesari para freelancer, pekerja-pekerja inhouse merasa tenang dengan statusnya.-"Walau job sedikit tetap dapat gaji," ujar Zulviena yang akrab disapa Viena.
Asep Cahyana Demikian juga dengan Asep Cahyana, Pimpinan Produksi Demi Gisela Citra Sinema. Asep begitu pria ini panggil, berpendapat serupa dengan Viena. "Kalau freelance, jika nggak produksi ya nggak dapat masukan. Kita (in house-red), ada nggak ada produksi gaji dapat, bonus dapat," ujar pria tinggi besar ini.
Istilahnya freelance mendapat lot income, in house mendapat fix income. Fix income inilah yang sempat menjadi pertimbangan Doddy Widodo ketika memilih untuk in house dalam beberapa waktu. "Saya mau bangun rumah, he..he..he," akunya.
Tidak jelas siapa atasannya dan siapa bawahannya, freelancer bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Nama baik menjadi modal utama dalam mempertahankan karir. "Jangan sampai nama kita jelek, ntar gak dapet callingan lagi," tegas Arif.
Oleh karena itu menjadi seorang freelancer mereka menjadikan kerja maksimal sebagai kuncinya. "Jangan cuma jual omongan," tegas Arif.
Berdasarkan itulah sebagai art director, Arif selalu harus membuktikan kualitasnya dengan menyediakan semua yang dibutuhkan tepat pada waktunya, serta bisa men-deliver sesuai jadwal yang dia janjikan kepada sutradara.
Selain itu juga, being professional adalah syarat lain untuk menjaga nama baik mereka. "Bukan hanya soal hasil kerja, tapi juga dalam hal personality dan attitude," tambah Rachel D.J. Hulu, seorang produser.
Tak heran jika para freelancer yang sama dapat ditemui di tempat berbeda dan syuting yang berbeda di hari yang sama. "Orang-orang freelance kalau bagus ketahuan, biasanya kalau masih kerja sama saya udah di-calling orang lain. Tapi kalau gak bagus, ketahuan tuh, abis shooting nganggurnya lama, baru dapat calling-an lagi," jelas Asep.
Galibnya, setiap orang tentu ingin karirnya menanjak, naik jabatan istilah umumnya. Begitu juga dengan para freelancer. Menurut Dede, seorang freelancer memiliki hak sebebas-bebasnya untuk mengklaim dirinya dalam jabatan apa pun. Misalnya, sekarang dia seorang asisten kameramen, bulan depan bisa saja dia menyatakan diri sebagai DOP (director of photography). "Masalahnya kan tinggal apa ada yang mau percaya dan memakai dia dalam posisi itu," ujar Dede yang sampai saat ini belum pernah merasakan menjadi freelance.
Hal inilah yang tidak dimiliki oleh para pekerja in house. Alur yang dimiliki oleh para pekerja in house tidak sebebas yang dimiliki oleh para freelancer, para pekerja in house memiliki alur yang lebih teratur dalam jenjang karir mereka. Akan tetapi, tentunya hal ini sangat tergantung pada seberapa besar PH tempat mereka bekerja membuka kesempatan baik jabatan bagi mereka yang berprestasi.
Dalam sebuah teorinya, Abraham Maslow, seorang psikolog kondang yang terkenal dengan teori hierarchy of needs -nya pernah menyatakan bahwa uang bukanlah satu-satunya hal yang dicari dalam sebuah pekerjaan. Ada empat hal lainnya yang juga dibutuhkan manusia, salah satunya jaminan keselamatan dalam bekerja. Inilah yang kadang diresahkan oleh para freelancer.
"Sampai saat ini belum ada yang namanya perjanjian kerja atau tunjangan atau asuransi bagi para pekerja freelance. Sebagai freelancer bentuk perjanjian kerja sama atau tunjangan masih dalam bentuk ‘lisan', yang mudah diingkari," keluh Rachel D.J.
Khawatir tentang kondisi ini, para freelancer berkumpul untuk menyatukan visi untuk memperjuangkan jaminan keselamatan kerja dan regenerasi para pekerja film seperti mereka. Mereka kini memiliki wadah, namanya Forum Pekerja Film yang berada di bawah naungan KFT-ASI (Karyawan Film Et Televisi-Asosiasi Sineas Indonesia).
Beberapa production house mulai peduli dengan para freelancer yang kerap dipakainya. Peraturan umum yang berlaku antara PH dan freelancer selama mereka dipekerjakan oleh PH tersebut adalah dimana PH menanggung keselamatan kerja freelancer.
Dewi T. Susilo Dalam dunia pekerja film, gengsi bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan secara serius. Tapi bukan berarti tidak boleh untuk diselorohkan bukan? Doddy pun berkelakar mengenai statusnya sebagai freelancer. “Ruginya kita gak berstatus bekerja. Jadi bahan omongan tetangga. Kalo in-house lebih terhormat, karena dia punya kantor.” Kata Doddy. Sementara kantor kita ya di hand phone,” timpal Arief. Lain lagi seloroh Dewi T. Susilo, seorang line producer freelancer. “Aku gak pernah punya meja, selalu menclak-menclok,” katanya.
Memang, dunia memang mesti seimbang. Freelance punya kelebihan sekaligus kekurangan, begitu pula in house. Dan para pekerja film telah memilih jalannya sesuai dengan kenyamanan yang mereka butuhkan. Dua-duanya halal kok!***
http://tvcomm-indonesia.blogspot.com/2011/03/freelance-atau-in-house.html
Thanks infonya. Oiya ngomongin pekerja lepas, saya nemuin artikel keren nih yang ngebahas tentang cara cerdas mengatur uang bagi pekerja tipe tersebut. Cek di sini ya: Tips keuangan bagi pekerja lepas
BalasHapusPenjelasanya Apa Itu Pekerjaan Freelance sangat bermanfaat
BalasHapus